Program Orang Tua Asuh Buat Putri-putri Penghafal Al-Qur’an

ResumeDaurahSyariyyah_24 #STAI_ALI_BIN_ABI_THALIB #Catatan_Keempat #Syaikh_Fathi_Abdullah_al-Mushily_hafizhahullah #Risalah_tentang_larangan_terhadap_bid‘ah_dan_perpecahan PERTEMUAN 01

 


#ResumeDaurahSyariyyah_24

#STAI_ALI_BIN_ABI_THALIB

#Catatan_Keempat

#Syaikh_Fathi_Abdullah_al-Mushily_hafizhahullah

#Risalah_tentang_larangan_terhadap_bid‘ah_dan_perpecahan

PERTEMUAN 01

Syaikh Fathi Abdullah al-Mushily, hafizhahullah berkata:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا

Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta salam yang sebanyak-banyaknya.

حياكم الله إخوة الإيمان، ونحن نلتقيكم في هذه الدورة العلمية، والمقرر فيها

دراسة مادتين مهمتين :

المادة الأولى وهي رسالة لشيخ الإسلام في الأمر بالاجتماع، والنهي عن البدعة

والاختلاف، والرسالة الثانية في أصول نقد المخالف، وأدعو أن حاجتكم إلى

هذين الموضوعين حاجة ضرورية .

Semoga Allah memberkahi kalian, wahai saudara-saudara seiman. Kita bertemu dengan kalian dalam daurah ilmiah ini, yang dijadwalkan untuk mempelajari dua materi penting: Materi pertama adalah risalah dari Syaikhul Islam mengenai perintah untuk bersatu, dan larangan terhadap bid‘ah dan perpecahan. Sedangkan risalah kedua adalah tentang prinsip-prinsip dalam mengkritik pihak yang menyelisihi. Dan aku menyeru bahwa kebutuhan kalian terhadap dua topik ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak.

فإن طالب العلم إذا ارتقى في مصافّ العلم، يحتاج إلى فقه الاجتماع عند

عرض العلم، ويحتاج إلى فقه الخلاف عند وقوع النزاع .

Karena sesungguhnya seorang penuntut ilmu, apabila telah naik ke derajat ilmu yang tinggi, maka ia membutuhkan pemahaman tentang pentingnya persatuan ketika menyampaikan ilmu, dan juga pemahaman tentang fiqih perbedaan ketika terjadi perselisihan.

ونجتمع إن شاء الله تعالى، ونعلّق ونذكر الفوائد كفر الحمد لله، الحمد لله كثيرًا،

وبارك فيك،

وربنا ما يرضى، اللهم صلِّّ وسلِّّم وبارك على نبيّنا محمد وعلى آله وصحبه

أجمعين .

InsyaAllah kita akan berkumpul, kita akan memberi komentar dan menyebutkan faedah-faedah, segala puji bagi Allah, segala puji banyak bagi Allah, semoga Allah memberkahimu, dan Rabb kita tidak meridhai (perpecahan), Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam dan keberkahan kepada Nabi kami Muhammad, serta kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya.

اللهم اجعلنا كما علّمتنا، وعلِّّمنا ما ينفعنا، وزدنا علمًا، واكتب لشيخنا

وللحاضرين وللمسلمين أجمعين .

Ya Allah, jadikanlah kami seperti yang telah Engkau ajarkan kepada kami, ajarkanlah kepada kami hal-hal yang bermanfaat, dan tambahkanlah ilmu kepada kami, dan catatkanlah pahala bagi guru kami, bagi para hadirin, dan bagi seluruh kaum muslimin.

رسالة في النهي عن البدعة والاختلاف

لشيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعال ى

RISALAH TENTANG LARANGAN TERHADAP BID‘AH DAN PERPECAHAN OLEH SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH

رحمه الله تعال ى

بسم الله الرحمن الرحيم

قال شيخ الإسلام :

"إذا وجب على الأنام الجواب على عالم البدع إذا دعا إليها، أو أنكر عليه،

ولكنه سكت عن ذلك،

فأقلّ المراتب: هجره، وذلك إذا سجد له الناس وخُدعوا به .

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Syaikhul Islam berkata:

“Jika telah menjadi kewajiban atas manusia untuk memberi jawaban kepada seorang ahli bid‘ah ketika ia menyeru kepada bid‘ah, atau mengingkari perbuatannya tetapi malah

diam saja, maka tingkatan paling rendah dalam hal ini adalah dengan menjauhinya (mengucilkannya), terutama ketika manusia sujud padanya dan tertipu olehnya.”

فلهذا فرّق الأئمة بين الداعية وغير الداعية، فإن الداعية أنكر منكرًا فاستحق

الإنكار عليه، والاختلاف الثالث في منزلة من أهدر الدم، فهذا لا يُنسب إليه،

فإن الخطيئة إذا كُفيت لا تضر إلا صاحبها، ولكن إن لم يُنكر ضلال العامة،

Oleh karena itu, para imam membedakan antara orang yang menyeru kepada bid‘ah dan yang tidak, karena orang yang menyeru (kepada bid‘ah) maka ia telah mengingkari kebenaran dan pantas untuk diingkari, dan perbedaan ketiga (dalam hal ini) adalah seperti orang yang darahnya telah dihalalkan, maka dia tidak disandarkan kepadanya (kebenaran), karena kesalahan jika tidak dicegah hanya akan membahayakan pelakunya saja, tetapi jika kesesatan masyarakat umum tidak diingkari,

ولهذا كان المنافقون ثقابًا منهم على نياتهم وثقل فوائدهم، والله تعالى في البدع

والبكاء، النهي والرفع،

والبدعة أشد مأساةً من سائر المعاصي، لأن المبتدع لا يُرجى لصاحبها التوبة،

فإنه لا يتوب إذا رأى بدعته دينًا .

Maka dari itu, orang-orang munafik lebih membahayakan karena niat mereka dan pengaruh buruk mereka, dan Allah Ta‘ala dalam urusan bid‘ah dan tangisan (penyesalan), telah menetapkan larangan dan pengangkatan (hukuman), dan sesungguhnya bid‘ah lebih parah dibandingkan semua bentuk maksiat lainnya, karena pelaku bid‘ah tidak diharapkan bertobat, karena ia tidak menganggap perbuatannya sebagai kesalahan, justru mengira bid‘ahnya adalah bagian dari agama.

بخلاف صاحب المعصية، فإنه ربما يتوب .

وفي هذا النص المهم، الأصل أن الكلام في ذي الفِّئة جاء لحفظ ضرورة الدين،

فهي لحق الله تبارك وتعالى،

ولهذا شدد الشارع فيها، فنهى عن البدع، وعن كل ما يُوصل إليها .

Berbeda dengan pelaku maksiat, karena bisa jadi dia akan bertobat.

Dalam nash penting ini, pembicaraan mengenai kelompok ini muncul untuk menjaga kebutuhan pokok agama, karena itu adalah hak Allah Ta‘ala, dan karena itu pula syariat mempertegas masalah ini, lalu melarang bid‘ah dan segala jalan yang mengarah kepadanya.

والجهة مضرتها في إظهارها وفي الدعوة إليها، لكنها إذا لم تظهر، فإن

صاحبها يكتمها مقتصرًا عليه، فإذا دعا إليها، فهذا أدعى إلى قبول الناس لها،

وإلى انتشارها .

Sisi bahayanya adalah pada tampaknya bid‘ah itu dan ajakan kepada bid‘ah tersebut, namun jika tidak ditampakkan, maka pelakunya hanya menyembunyikannya dan hanya terbatas pada dirinya, tetapi jika dia mengajak orang lain kepada bid‘ah, maka itu lebih memungkinkan diterimanya oleh masyarakat dan menyebarnya.

ولهذا هنا وجوه الإنكار، وانظر: قال "على من أظهر الفجور والبدع ودعا

إليها " ، فالإنكار هنا منوط بالدعوة إليها، فالعلماء يفرّقون بين الداعية إلى البدعة

وغير الداعية .

Karena itulah ada berbagai bentuk pengingkaran, perhatikan: beliau berkata, “terhadap orang yang menampakkan kefajiran dan bid‘ah serta mengajak kepadanya”, maka pengingkaran di sini bergantung pada adanya ajakan (dakwah) kepada bid‘ah itu, para ulama membedakan antara orang yang menyeru kepada bid‘ah dan yang tidak.

فكلما دعا إليها، كلما أظهرها، وجب الإنكار، ثم قال: وأقل مراتب الإنكار:

هجره، فإنه قد يُعذّب، قد يُمنع، قد يُجرى، أقل ذلك هو هجره، كما سيأتي بيانه

رحمه الله تعالى .

Semakin ia menyeru kepada bid‘ah dan menampakkannya, maka semakin wajib untuk diingkari, kemudian beliau berkata: tingkatan paling rendah dari pengingkaran adalah dengan menjauhinya, karena bisa jadi ia akan disiksa, dicegah, atau diseret, dan paling ringan adalah dijauhi, sebagaimana akan dijelaskan oleh beliau رحمه الله .

وهنا فائدة: أن هجر المبتدع أو الداعي إلى البدعة من باب العقوبات الشرعية،

وهذا النظر في شريعتنا على المقام الأول، وهو الأمر بالمعروف والنهي عن

المنكر، والمقام الثاني: رفع الشجاعة والإنكار عليها وعلى أهلها، والمقام

الثالث: معاقبة أصحابها .

Di sini ada faedah penting: bahwa menjauhi pelaku bid‘ah atau penyeru kepada bid‘ah adalah bagian dari hukuman syar‘iyah, dan ini ditinjau dalam syariat kita dalam tiga tingkatan: tingkatan pertama adalah amar ma‘ruf dan nahi munkar, tingkatan kedua adalah meningkatkan keberanian dan pengingkaran terhadap bid‘ah dan para pelakunya,

tingkatan ketiga adalah memberikan hukuman kepada para pelaku bid‘ah tersebut.

ولهذا، فأقلّ مراتب الإكثار: الهجر، فأنت في هجرك للبدع وأهلها، تُطبّق

العقوبة الشرعية، فالكلام في الإنكار على البدع وهجرها من باب الكلام في

العقوبات الشرعية، والكلام في العقوبات الشرعية من باب الكلام في الأمر

بالمعروف والنهي عن المنكر .

Oleh karena itu, tingkatan paling ringan dari pengingkaran adalah dengan menjauhi, karena dalam sikapmu menjauhi bid‘ah dan para pelakunya, kamu sedang menerapkan hukuman syar‘i, maka pembicaraan tentang pengingkaran terhadap bid‘ah dan menjauhi pelakunya termasuk dalam pembahasan hukuman syar‘i, dan pembahasan tentang hukuman syar‘i termasuk dalam pembahasan amar ma‘ruf dan nahi munkar.

وهنا السؤال إليكم: لماذا جعل الشرع الهجرَ والإنكارَ؟ أليس الهجر والإنكار من

باب العقوبة؟

والعقوبة من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر .

Pertanyaannya sekarang: mengapa syariat menjadikan sikap menjauhi (hajr) dan pengingkaran (inkār)? Bukankah keduanya merupakan bagian dari hukuman?

Dan hukuman sendiri termasuk dalam kategori amar ma‘ruf dan nahi munkar.

بماذا؟ أولهما: التسجيل من أوله إلى آخره بمعروف أو نحكي عن المنكر .

كنتُ متخيلًا أن أمتي أُخرجت لله . ماذا؟ ﴿تَأْمُرُونَ بِّالْمَعْرُوفِّ وَتَنْهَوْنَ عَنِّ الْمُنكَرِّ

وَتُؤْمِّنُونَ بِّا ه للَِّّ﴾ .

Dengan apa? Yang pertama: keseluruhan perkara ini bermula dari menyeru kepada kebaikan atau memperingatkan terhadap kemungkaran.

Saya membayangkan bahwa umatku telah diutus untuk Allah. Apa itu? “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia: kamu menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Āli ‘Imrān: 110).

أي أن أصول الأمة: أمرٌ بالمعروف، ونهيٌ عن المنكر، وإيمانٌ بالله .

والأمر بالمعروف من باب الوسائل، والإيمان بالله من باب الغايات . فنحن

نتوصل إلى الغايات بالوسائل .

Artinya bahwa fondasi umat ini adalah: amar ma‘ruf, nahi munkar, dan iman kepada Allah.

Amar ma‘ruf adalah termasuk bagian dari sarana (wasā’il), sedangkan iman kepada Allah adalah bagian dari tujuan akhir (ghāyāt). Maka kita mencapai tujuan melalui sarana tersebut.

انظر إلى التأصيل الشرعي في إنكار البدع، تقصير الشرعي بإمكان البدع، هذه

الفائدة الأولى: أن الدين كله أمرٌ بالمعروف أو نهيٌ عن منكر، ولسبب آخر،

وهو أن كل عمل بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر يكون مطلوبًا في ذم

البدعة وهجر أهلها .

Perhatikan bagaimana fondasi syar‘i dibangun dalam pengingkaran terhadap bid‘ah,

kelalaian dalam syariat bisa menyebabkan munculnya bid‘ah, ini adalah faedah pertama: bahwa seluruh agama ini adalah amar ma‘ruf atau nahi munkar,dan juga karena setiap bentuk amar ma‘ruf dan nahi munkar juga mencakup celaan terhadap bid‘ah dan menjauhi para pelakunya.

ما دام أن هذه المسألة اندرجت في الأمر بالمعروف والنهي، فإذاً شروطها من

أين تؤخذ؟ تُؤخذ من قاعدة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر .

Selama perkara ini masuk dalam cakupan amar ma‘ruf dan nahi munkar,

maka dari mana kita ambil syarat-syaratnya? Kita ambil dari kaidah amar ma‘ruf dan nahi munkar.

وسيظهر لنا أن قاعدة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر مشروطة بشرطين،

وهما: المصلحة والقدرة .

والقدرة - ما شاء الله تبارك الله - نعم، فالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر

مشروط بشرطين: القدرة والمصلحة .

Dan akan tampak kepada kita bahwa kaidah amar ma‘ruf dan nahi munkar itu bersyarat dengan dua hal, yaitu: maslahat dan kemampuan.

Kemampuan — MasyaAllah Tabarakallah — ya, maka amar ma‘ruf dan nahi munkar disyaratkan dua hal: adanya kemampuan dan adanya maslahat.

وأسلوب التحقيق هذا إنما يكون بالرفق والحكمة، وهذا المنهج العام سيجري

أيضًا على قاعدة البدع كما سيظهر لنا، والله تعالى أعلم .

Dan pendekatan ini hanya dapat dilakukan dengan kelembutan dan hikmah,

dan metode umum ini juga akan diterapkan dalam kaidah berkaitan dengan bid‘ah sebagaimana akan kita lihat nanti, wallāhu ta‘ālā a‘lam.

أحسن الله إليكم .

البدعة التي جاء بها الرجل من أهل الأهواء، الفئة التي يُعدي بها الرجل من

أهل الأهواء، اشتهرت عند أهل العلم في السنة بمخالفتها للكتاب والسنة .

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Bid‘ah yang dibawa oleh seseorang dari kalangan pengikut hawa nafsu, golongan yang dengannya seseorang bisa menulari orang lain dari kalangan ahl al-ahwā’ (pengikut hawa nafsu), telah dikenal luas oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagai bentuk penyimpangan terhadap al-Qur’an dan Sunnah.

فبدعة الخوارج، والقدرية، والمرجئة . فإن عبد الله بن المبارك، ومن الأحباب:

ابن عفّان، وغيرهما،

قاموا أصول اثنتين وسبعين فرقة، هي أربع: الخوارج، والرافضة، والقدرية،

والمرجئة .

Yaitu bid‘ah Khawārij, Qadariyyah, dan Murji’ah.

Sesungguhnya ‘Abdullāh bin al-Mubārak, dan sebagian sahabat seperti ‘Uthmān bin ‘Affān dan lainnya, telah menegaskan bahwa pokok dari 72 kelompok sesat berasal dari empat: Khawārij, Rāfidhah, Qadariyyah, dan Murji’ah.

قيل لابن المبارك عن الفهمية، قال: ليست الفهمية من أمة محمد عليه الصلاة

والسلام .

Dikatakan kepada Ibn al-Mubārak tentang kelompok Fahmiyyah, beliau berkata: "Fahmiyyah bukan termasuk umat Muhammad صلى الله عليه وسلم."

ما هي البدع التي يُعدى بها الرجل من أهل الأهواء؟ وهنا يجب التمييز بين

البدعة شرعًا، وبين البدعة التي يكون صاحبها مبتدعًا من أهل الأهواء .

Apa saja bid‘ah yang bisa menulari seseorang dari kalangan pengikut hawa nafsu? Di sini perlu dibedakan antara bid‘ah secara hukum syar‘i, dengan bid‘ah yang menyebabkan pelakunya tergolong sebagai ahli hawa (ahl al-ahwā’).

البدعة: كل طريقة مُخترعة تُضاهي الطريقة الشرعية، خُ ه ص بها التعبد، وهذا

التعريف مشهور ذكره الشاطبي في "الاعتصام"، وتلقّاه العلماء .

Bid‘ah adalah setiap metode baru yang menyerupai cara-cara syar‘i, yang dikhususkan dalam bentuk ibadah, dan definisi ini masyhur disebutkan oleh al-Shāṭibī dalam kitab al-I‘tiṣām, dan diterima luas oleh para ulama.

فإذ اً البدعة بالنظر إلى ذاتها: أنها طريقة مخترعة، وهي مذمومة سواء كانت

كبيرة أو صغيرة، لعموم النهي عن البدع، أن كل بدعة ضلالة .

Jadi, jika dilihat dari dirinya sendiri, bid‘ah adalah metode yang diada-adakan, dan itu tercela, baik besar maupun kecil, karena adanya larangan umum terhadap bid‘ah, bahwa “setiap bid‘ah adalah kesesatan.”

وهذا العموم عموم محفوظ، ومعنى "عموم محفوظ": أنه لم يرد عليه

تخصيص،

فجميع البدع داخلة في الذم .

Dan keumuman ini adalah keumuman yang terjaga, maksud dari ‘umūm maḥfūẓ adalah tidak ada pengecualian terhadapnya, maka semua bentuk bid‘ah termasuk dalam hal yang tercela.

ومما يدل على ذلك قوله صلى الله عليه وسلم : « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو

ر د ».

فالبدعة بالنظر إلى نفسها طريقة، وأما في حكمها فهي مذمومة في جميع

أنواعها،

لأن جنس الابتداع في الدين مذموم مرفوض.

Dan termasuk dalilnya adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.” Maka bid‘ah, jika dilihat dari bentuknya, adalah metode (baru), namun dari sisi hukumnya, semuanya tercela, karena jenis inovasi dalam agama itu tercela dan ditolak.

لاحظ: لا يلزم أن كل من فعل بدعة، أو أُضيفت إليه البدعة، أن يكون مبتدعًا أو

من أهل الأهواء .

ولهذا ذكر شيخ الإسلام ضابطًا مهمًا، وهو: البدعة التي يُعدى بها الرجل من

أهل الأهواء، أي: من أهل الفِّرَق الذين يكون الواحد منهم تحت الوعيد .

Perhatikan: tidak setiap orang yang melakukan bid‘ah, atau dinisbatkan kepada bid‘ah, pasti dihukumi sebagai mubtadi‘ (ahli bid‘ah) atau termasuk ahl al-ahwā’.

Karena itulah Syaikhul Islam menyebutkan kaidah penting, yaitu: bid‘ah yang membuat seseorang menjadi bagian dari ahl al-ahwā’, yakni mereka yang termasuk dalam golongan sesat yang berada di bawah ancaman (azab).

لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "كلها في النار إلا واحدة"، وهذا وعيد

مطلق، هذا بالنظر إلى الإطلاق، أما بالنظر إلى الأعيان والأفراد، فهنا الأمر

متوقف على تحقق الشرط وانتفاء المانع. فما هي البدع التي يكون الرجل بها أو

فيها مبتدعًا ضا ا لا يُضاف إلى الفرق؟ قال: هي ما اشتهر عند أهل السنة، أي كل

مخالفة ظاهرة اشتهر عند أهل السنة أنها خلاف الإجماع، فلا بد إذًا أن تكون

بدعة، ولا بد أن يشتهر العلم بها بأنها بدعة. فخرجت البدع الخفية، وخرجت

البدع غير المكفّرة، وخرجت البدع التي تُفعل على سبيل التأويل، أي أن

الإنسان يظن أن هذا سنة فيفعله، وهو في الحقيقة ليس كذلك، فإن كان على هذا

الحال، فلا يقال عن الرجل إنه مبتدع .

Karena Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Semuanya di neraka kecuali satu,” maka ini adalah ancaman yang bersifat umum. Namun jika kita melihat pada individu dan kasus per kasus, maka hal ini bergantung pada terpenuhinya syarat dan tidak adanya penghalang. Lalu, bid‘ah seperti apakah yang menjadikan seseorang tergolong sebagai mubtadi‘ yang sesat dan dikaitkan dengan kelompok-kelompok sesat? Jawabannya: yaitu bid‘ah yang telah dikenal luas oleh kalangan Ahlus Sunnah, yakni setiap penyimpangan yang jelas dan telah masyhur diketahui oleh Ahlus Sunnah bahwa ia menyelisihi ijma‘. Maka hal itu pasti termasuk bid‘ah, dan harus pula dikenal secara ilmiah bahwa perbuatan itu adalah bid‘ah. Dengan demikian, bid‘ah yang samar pun dikecualikan, juga bid‘ah yang tidak sampai pada kekufuran, serta bid‘ah yang dilakukan karena takwil (penafsiran keliru), seperti

seseorang yang mengira bahwa perbuatannya itu termasuk sunnah padahal sebenarnya bukan. Dalam kondisi seperti ini, maka orang tersebut tidak serta-merta disebut sebagai ahli bid‘ah.

الشاطبي رحمه الله في الاعتصام، وشيخ الإسلام أيضًا، ذكرا معيارًا لذلك، وهو

أن كل بدعة اشتهرت بين أهل العلم بالسنة بأنها مخالفة ظاهرة للكتاب والسنة.

هذا هو وصف البدعة الكبرى: أن تكون ظاهرة، ومخالفة، ومشتهرة. فليست

خفية، بل قل إن شئت: إن هذا التعريف ينطبق على البدع الكبار، وهي البدع

التي تصدر عن أهل الأهواء. وقد تكون البدعة صغيرة، وهي بدع العبادات

والأعمال التي يفعلها العوام والمقلدون. هذا معيار مهم .

Al-Syathibiy رحمه الله dalam al-I‘tiṣām, dan juga Syaikhul Islam, menyebutkan kriteria bid‘ah yang menjadikan pelakunya tergolong mubtadi‘, yaitu setiap bid‘ah yang telah masyhur di kalangan ulama Ahlus Sunnah bahwa ia menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah dengan penyimpangan yang jelas. Ini adalah deskripsi dari bid‘ah besar, yaitu bid‘ah yang tampak, menyelisihi, dan dikenal. Jadi bukan bid‘ah yang tersembunyi. Bahkan bisa dikatakan bahwa definisi ini berlaku khusus untuk bid‘ah besar — yakni bid‘ah dari kalangan ahl al-ahwā’ (pengikut hawa nafsu). Adapun bid‘ah kecil mencakup bid‘ah dalam ibadah dan amal yang

dilakukan oleh orang awam dan para pengikut taklid. Maka ini adalah kriteria penting dalam membedakan jenis-jenis bid‘ah.

الشاطبي رحمه الله ذكر معيارًا آخر، وهو أنه حتى يُعدّ صاحب البدعة من أهل

الأهواء، لا بد أن يخالف أصلًا كليًا من أصول الشريعة، لا أن يخطئ في مسألة

جزئية. فمثلًا: لو قال رجل إن الخروج على ولاة الأمور جائز هكذا بإطلاق،

فهذا يُعدّ مخالفًا لأصل مجمع عليه من أصول أهل السنة، لأن الأصل الذي

أجمعت عليه الأمة هو تحريم الخروج على ولاة الأمور. فمن خالف هذا الأصل

فقد وقع في بدعة تُنسب إلى الخوارج. لكن لو قال: "أنا أرى في حادثة أو بلد

معيّن أن هذا ليس خروجًا، بل هو من باب الأمر بالمعروف والنهي عن

المنكر"، فهذا يكون خطؤه في مسألة جزئية، لا يُبدّع بها، بل يُقال أخطأ، ويُرد

عليه، ولا يُنسب إلى الخوارج .

Al-Shāṭibī رحمه الله juga menyebutkan kriteria lain, bahwa seseorang tidak dianggap sebagai ahli bid‘ah dari kalangan ahl al-ahwā’ kecuali ia menyelisihi suatu prinsip dasar (aṣl kullī) dari pokok-pokok syariat, bukan hanya keliru dalam masalah cabang atau parsial. Sebagai contoh: jika seseorang berkata bahwa boleh memberontak terhadap penguasa tanpa batasan, maka ia telah menyelisihi prinsip mendasar yang disepakati oleh Ahlus Sunnah, yaitu haramnya memberontak terhadap penguasa. Maka siapa yang menyalahi prinsip ini, ia telah melakukan bid‘ah dan

dikaitkan dengan kelompok Khawārij. Namun, bila ia mengatakan: “Saya melihat bahwa kasus tertentu di negeri tertentu bukanlah pemberontakan, tapi bagian dari amar ma‘ruf dan nahi munkar,” maka kesalahannya dalam hal ini bersifat parsial, dan dia tidak divonis sebagai mubtadi‘, hanya dikatakan bahwa ia salah dan harus diluruskan, tapi tidak dikaitkan dengan Khawārij.

واضحٌ هذا المعنى؟ إذًا شيخ الإسلام قال: "ما اشتهر عند أهل السنة والجماعة

بمخالفتها الظاهرة للكتاب والسنة". أما الشاطبي، فيرى أنه لا يُبدّع الرجل إلا

إذا خالف أصلًا كليًا، وليس في مسألة جزئية. إن شاء الله سنفصّل في موضوع

نقد المخالفين بين الخطأ في الكليات والخطأ في الجزئيات .

Jelas makna ini? Maka Syaikhul Islam mengatakan bahwa bid‘ah yang menjadikan seseorang disebut sebagai mubtadi‘ adalah yang telah masyhur di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama‘ah sebagai penyimpangan yang nyata dari al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan al-Shāṭibī berpendapat bahwa seseorang tidak boleh disebut sebagai ahli bid‘ah kecuali ia telah menyelisihi prinsip dasar agama, bukan hanya dalam perkara cabang. InsyaAllah akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan tentang naqd al-mukhālifīn (kritik terhadap yang menyelisihi), antara kesalahan dalam prinsip dan kesalahan dalam cabang.

أحسن الله إليكم. الجامع بين أهل البدع جميعًا أنهم تركوا الواجبات من اتباع

السنة وجماعة المؤمنين. فإن الخوارج أصل بدعتهم أنهم لا يرون اتباع ولاة

الأمور، وخالفوا القرآن، وخرجوا على من وُلِّّيَ عليهم .

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Ciri umum yang menyatukan semua ahli bid‘ah adalah bahwa mereka meninggalkan kewajiban dalam mengikuti sunnah dan berjamaah bersama kaum mukminin. Sesungguhnya pokok bid‘ah Khawārij adalah karena mereka tidak mengakui kepemimpinan penguasa yang sah, menyelisihi al-Qur’an, dan memberontak terhadap pemimpin yang telah diangkat atas mereka.

فهذا وأخواته من الرافضة لا يرون عدالة الصحابة ولا محبتهم ولا الاستغفار

لهم، وهذا ترك واجب. وكذلك القدرية لا يؤمنون بعلم الله تعالى القديم، ولا

بمشيئته الشاملة، ولا بقدرته الكاملة، وهذا أيضًا ترك واجب. وكذلك الجبرية

ينفون قدرة العبد ومشيئته، وقد يدفعون أمر الله بالقدر ويتبعون مسلك الغدر،

وهذا أيضًا ترك واجب. ومع ذلك، فإننا لا نجعلهم من الكافرين، فهذه من بدع

الفقهاء، ليس فيها كفر، ولا خلاف في ذلك عند أحد من الأئمة، ومن أدخل من

أصحابنا هذه الفرق في البدع التي يُكفهر أصحابها فقد غرق في الغلو، لأنهم لا

يرون إدخال الأعمال أو الأحوال في الإيمان، وهذا أيضًا ترك واجب .

Contohnya seperti kelompok Rafidhah dan kelompok-kelompok semisalnya yang tidak meyakini keadilan para sahabat, tidak mencintai mereka, dan tidak memohonkan ampun untuk mereka — ini adalah bentuk meninggalkan kewajiban. Demikian pula Qadariyyah, mereka tidak beriman kepada ilmu Allah yang qadim, tidak kepada kehendak-Nya yang meliputi segalanya, dan tidak kepada kekuasaan-Nya yang sempurna — ini juga termasuk meninggalkan kewajiban. Begitu juga dengan Jabriyyah yang menafikan kehendak dan kemampuan hamba, bahkan ada yang menolak takdir Allah dan mengikuti jalan pengkhianatan — ini juga bentuk meninggalkan kewajiban. Meskipun demikian, kita tidak mengkafirkan mereka; bid‘ah-bid‘ah ini termasuk dalam kategori bid‘ah furu‘iyah (cabang), bukan bid‘ah kufur, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini di kalangan imam-imam Ahlus Sunnah. Siapa pun yang mengkafirkan mereka karena bid‘ah tersebut berarti ia telah tenggelam dalam sikap ghuluw (berlebihan), sebab mereka hanya menolak memasukkan amal dan keadaan dalam definisi iman — dan ini pun termasuk dalam bentuk meninggalkan kewajiban.

وأما غلاة المرجئة، فإنهم يكفرون بالعقاب، ويرفضون وقوعه، ويزعمون أن

الوعيد لا يتحقق، وهذا قول عظيم. وهنا شيخ الإسلام يبيّن القواعد الكلية في

أصول البدع والتعامل معها. فكلامه في الأصول، وقد قيل: من حُرم الأصول

حُرم الوصول. وذكر قاعدة جامعة مشتركة، وهي وصف موجود في كل أهل

البدع، فلا تجد مبتدعًا إلا وهو متصف بهذا الوصف، وهو أن أصل البدعة

عنده يرجع إلى ترك واجب، لا إلى ارتكاب محرّم .

Adapun golongan ekstrem dari Murji’ah, mereka menolak keberlakuan hukuman, tidak meyakini terjadinya azab, dan beranggapan bahwa ancaman itu tidak akan benar-benar terjadi — ini adalah keyakinan yang sangat berbahaya. Di sini, Syaikhul Islam menjelaskan kaidah-kaidah umum dalam memahami dasar-dasar bid‘ah dan bagaimana menyikapinya. Pembicaraannya ini berada pada ranah ushul (fondasi), dan telah dikatakan: Barangsiapa tidak memahami ushul, ia tidak akan sampai pada tujuan. Ia menyebutkan satu kaidah universal yang menjadi ciri khas dari seluruh ahli bid‘ah, yaitu bahwa setiap mubtadi‘ pasti memiliki satu sifat ini: akar dari bid‘ahnya adalah meninggalkan kewajiban, bukan karena melakukan perbuatan haram.

وهنا وقفة في شريعتنا، كما قرره شيخ الإسلام: ما العلاقة بين فعل الواجب

وترك المحرم؟ كلاهما من الطاعة، نعم، لكن لا تبارك الله في من فرّق بينهما.

هذا تاريخ اصطلاحي؛ فعل الواجب أمر إيجابي، وترك المحرم أمر سلبي. لكن

الأمر بالفعل مقدم، والترك فرع. فالأصل في ديننا فعل الواجبات، وأما ترك

المحرمات فهو فرع على الأصل. وليس هذا تقليلًا من ترك المحرم، بل بيان

للترتيب الشرعي. فمن أتى بالواجب على وجه التمام، استلزم منه ترك

المحرمات .

Mari kita berhenti sejenak untuk merenungi ajaran syariat kita, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam: apa hubungan antara melakukan kewajiban dan meninggalkan yang haram? Keduanya adalah bentuk ketaatan, benar. Namun semoga Allah tidak memberkahi siapa pun yang membedakan secara keliru di antara keduanya. Ini adalah perbedaan istilah: melakukan kewajiban adalah tindakan positif, sedangkan meninggalkan larangan adalah tindakan negatif. Tapi perintah untuk melakukan datang lebih dahulu, sedangkan meninggalkan larangan adalah cabang darinya. Maka prinsip utama dalam agama kita adalah melakukan kewajiban, sedangkan meninggalkan keharaman merupakan turunan dari prinsip itu. Dan ini bukanlah untuk meremehkan meninggalkan yang haram, tetapi hanya menjelaskan urutan prioritas secara syar‘i. Barang siapa menunaikan kewajiban secara sempurna, maka secara otomatis ia akan meninggalkan perbuatan haram.

أليس كذلك؟ ولهذا لما سُئل النبي صلى الله عليه وسلم أبو سفيان — وكان حينها مشركًا، لكنه

منصف — ما الذي يأمر به هذا الرسول؟ قال: يأمر بالصلة، والصلاة،

والعفاف، والصدق. لم يذكر شيئًا من المحرمات، بل ذكر أمورًا إيجابية. وهذا

ظاهر في الحديث القدسي: "ما تقرّب إليّ عبدي بشيء أحبّ إليّ مما افترضته

عليه." ولم يقل: مما نهيته عنه. فدلّ على أن الأصل في الدين هو فعل

الواجبات .

Bukankah begitu? Karena itu, ketika Nabi صلى الله عليه وسلم ditanya oleh Abu Sufyan — yang saat itu masih musyrik, namun jujur dan adil — “Apa yang dibawa oleh Rasul ini?” Abu Sufyan menjawab: “Ia menyeru kepada menyambung tali silaturahim, salat, kesucian, dan kejujuran.” Ia tidak menyebut satu pun larangan; yang disebut hanyalah perbuatan positif. Ini juga terlihat dalam hadis Qudsi: “Tidak ada sesuatu yang lebih Aku cintai yang dilakukan oleh hamba-Ku dalam rangka mendekatkan diri kepada-Ku selain apa yang Aku wajibkan atasnya.” Dan Allah tidak mengatakan: “selain apa yang Aku larang darinya.” Maka jelaslah bahwa inti agama adalah menjalankan kewajiban.

هل عندكم في العُرف أنكم إذا أردتم أن تمدحوا إنسانًا، تقولون: فلان ما شاء

الله، يعرف الأصول ويعرف الواجبات؟ هذا موجود في عرف الناس، لأنهم

يعتبرون أن غاية ما يُمدح به الإنسان هو أداؤه للواجبات. ولهذا، فإن أداء

الواجبات أفضل من ترك المحرمات. والدليل أنك إذا سألت بعض الناس: هل

تشرب الخمر؟ هل تفعل الفواحش؟ قال: لا. لكنه يستصعب أداء الصلاة

والصيام. فترك المحرم عنده سهل، وأداء الواجب ثقيل عليه .

Apakah dalam kebiasaan (‘urf) kalian, jika kalian ingin memuji seseorang, kalian berkata: “Fulan, MasyaAllah, dia tahu prinsip-prinsip dan kewajiban agama?” Ini memang sudah menjadi tradisi di kalangan manusia, karena mereka memandang bahwa puncak pujian bagi seseorang adalah karena dia menjalankan kewajiban. Oleh sebab itu, menjalankan kewajiban lebih utama dibandingkan sekadar meninggalkan hal yang haram. Buktinya, jika kamu tanya seseorang: “Apakah kamu minum khamar? Apakah kamu berbuat keji?” Dia akan menjawab: “Tidak.” Tapi ketika ditanya tentang salat dan puasa, dia merasa berat. Jadi, meninggalkan yang haram baginya mudah, tapi menunaikan kewajiban adalah sesuatu yang sulit.

والدليل أيضًا: قول النبي صلى الله عليه وسلم: "إذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه، وإذا أمرتكم بشيء

فأتوا منه ما استطعتم ."

فالنهي مقتصر على الاجتناب، لكن الأمر متعلق بالفعل بقدر الاستطاعة .

Dalil lainnya adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah; dan jika aku memerintahkan kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”

Maka (dalam) Larangan cukup dengan menjauhi, tetapi perintah terkait dengan pelaksanaan itu adalah sesuai kemampuan.

هنا في الأمر بالواجب ذُكرت الاستطاعة، وفي النهي قال الله: ﴿فاجتنبوه﴾. لأن

فعل الواجب في الشرع أدق وأفضل وأكمل من ترك الحرام. ولهذا فهم

الصحابة هذا الأمر، فلما أُمروا بالتوحيد تركوا الشرك، ولما أُمروا بالعدل

تركوا الظلم كله، ولما آمنوا بالعفّة تركوا الشهوة. أليس هذا المعنى واضحًا؟

Di sini, dalam perintah untuk melakukan kewajiban disebutkan syarat kemampuan, sedangkan dalam larangan Allah berfirman: “Maka jauhilah itu”. Karena melaksanakan kewajiban secara syar‘i itu lebih tepat, lebih utama, dan lebih sempurna daripada sekadar meninggalkan keharaman. Para sahabat memahami hal ini dengan baik: ketika mereka diperintahkan bertauhid, mereka pun meninggalkan kesyirikan; ketika diperintahkan berbuat adil, mereka pun meninggalkan segala bentuk kezaliman; dan ketika mereka beriman kepada iffah (menjaga kehormatan diri), mereka pun meninggalkan syahwat. Bukankah ini makna yang jelas?

لهذا، هذا التأصيل الشرعي يدفعني الآن إلى تأمّل الدعوة إلى الله. كثير من

الدعاة، حين يأتون إلى الشباب غير الملتزمين، يقولون لهم: اترك الحرام، اترك

الأغاني، اترك السيجارة، اترك أصحاب السوء، اترك، اترك... طيب، لماذا لا

تقول له: افعل؟ افعل؟ افعل؟ واضح هذا؟ هذا خطأ في منهج الدعوة عندنا .

Karena itulah, landasan syar‘i ini mendorongku untuk merenungi metode dakwah kepada Allah. Banyak para dai ketika mendekati para pemuda yang belum komitmen terhadap agama, mereka langsung berkata: “Tinggalkan maksiat, tinggalkan musik, tinggalkan rokok, tinggalkan teman-teman buruk, tinggalkan ini dan itu…” Tapi kenapa tidak dikatakan sebaliknya: “Lakukan ini, lakukan itu”? Bukankah ini jelas? Ini adalah kesalahan dalam metode dakwah kita.

الأولى أن نقول له: افعل! صَلِّّ! فإن قال: طيب، أنا أسمع الأغاني. نقول: لا

بأس، صَلِّّ. اعتنِّ بالتوحيد والإيمان. فإن قال: لكن عندي معاصٍ. نقول: لا

بأس، استمر في الصلاة. لأنه إذا استقر الواجب في القلب، وقيمت الواجبات

المتعلقة بالأمور الكلية الإيمانية، تحركت الجوارح تلقائيًا إلى ترك المحرمات .

Yang seharusnya kita katakan lebih dulu adalah: Lakukan! Salatlah! Kalau dia berkata: “Tapi saya masih mendengarkan musik,” maka katakanlah: “Tidak apa-apa, tetaplah salat.” Fokuslah pada tauhid dan iman. Jika dia berkata: “Saya masih banyak maksiat,” jawablah: “Tidak apa-apa, teruskan ibadahmu.” Karena jika kewajiban sudah tertanam kuat dalam hati, dan seseorang sudah menghidupkan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan pokok-pokok keimanan,

maka anggota tubuh akan secara otomatis terdorong untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan.

بعد هذه المقدمة، نظر شيخ الإسلام إلى أهل البدع، فرأى أن هناك صفة

مشتركة في جميع أهل البدع إلى قيام الساعة، وهي: أنك لا تجد مبتدعًا، ولا

فرقة منحرفة، إلا وقد تركت واجبًا. نعم، قد تجد عندهم تأويلات أو انحرافات

فكرية، لكنها في الحقيقة كلها آثار لترك واجب. فالخوارج مثلًا، ماذا تركوا؟

تركوا أمر الامتثال للنبي صلى الله عليه وسلم. والرافضة، ماذا تركوا؟ تركوا محبة الصحابة

وتعديلهم. والمرجئة، تركوا الاعتناء بالأعمال. وكل هذه انحرافات تعود إلى

ترك أمر واجب .

Setelah mukadimah ini, Syaikhul Islam memerhatikan kondisi para ahli bid‘ah, lalu ia menyimpulkan bahwa ada satu sifat yang selalu ada dalam setiap ahli bid‘ah hingga hari kiamat, yaitu: Tidak ada satu pun mubtadi‘, tidak pula satu pun kelompok sesat, kecuali mereka pasti telah meninggalkan suatu kewajiban. Benar bahwa mereka seringkali punya takwil (penafsiran menyimpang) atau penyimpangan pemikiran, tapi semua itu hanyalah akibat dari meninggalkan suatu kewajiban. Contohnya, Khawarij — apa yang mereka tinggalkan? Mereka meninggalkan perintah untuk taat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم. Rafidhah — apa yang mereka tinggalkan? Mereka meninggalkan kecintaan dan

penghormatan terhadap para sahabat. Murji’ah — mereka meninggalkan perhatian terhadap amal perbuatan. Maka segala penyimpangan mereka kembali pada satu akar: meninggalkan kewajiban.

وانظر لما دخل شيخ الإسلام في حديثه عن المرجئة، لم يطلق الحكم عليهم، بل

فصّل، فبيّن الفرق بين غلاة المرجئة وبين مرجئة الفقهاء. وهذا من عدل شيخ

الإسلام؛ لأنه إذا تكلّم في الفرق والبدع، كان منصفًا. ومن هم الذين يحقّ لهم

الكلام في البدع؟ إنهم العلماء، والحكّام، والشهود، والعادلون. فالعالم يتكلّم بعلم،

ويحكم بعدل، ويشهد بصدق. ولهذا فإن أهل السنة، إذا تكلّموا في الفرق، فإنهم

ينطلقون من عدالة وعلم، وهذا من كمال منهجهم،

Perhatikan ketika Syaikhul Islam rahimahullah membahas kelompok Murji’ah. Ia tidak langsung memvonis secara umum, tapi beliau merinci, membedakan antara Murji’ah ekstrem dan Murji’ah dari kalangan fuqaha. Ini merupakan keadilan dari Syaikhul Islam. Karena orang yang membahas bid‘ah dan kelompok-kelompok menyimpang seharusnya bersikap adil. Siapa yang berhak bicara dalam masalah ini? Para ulama, para penguasa yang adil, para saksi yang jujur. Seorang alim harus berbicara berdasarkan ilmu, memberikan vonis berdasarkan keadilan, dan bersaksi berdasarkan kejujuran. Oleh sebab itu, para pengikut Ahlus Sunnah bila membahas kelompok-kelompok sesat, mereka melakukannya berdasarkan ilmu dan keadilan. Dan ini

adalah bentuk kesempurnaan metode mereka (sebab perlindungan terhadap sunnah tidak akan terwujud kecuali dengan ilmu dan keadilan).

موقف المبتدع من النصوص التي تخالفه؟ لا تجد مبتدعًا إلا وهو يحب كتمان

النصوص التي تخالف رأيه، ولا يحرص على روايتها، ولا يحب أن تُقرأ، ولا

أن يُحتج بها. وهذه من أصول أهل البدع وصفاتهم: أنهم يكتمون النصوص

ويخالفون الحديث، ولا يظهرون الروايات، ولا يستدلون بها. ولهذا، فإن أهل

السنة هم أسعد الناس بالحديث رواية ودراية. لماذا؟ لأنك لا تجد مبتدعًا إلا وهو

متعصب لرأيه، ولا تجد مبتدعًا إلا وهو يحتقر أهل الحق .

Bagaimana sikap seorang mubtadi‘ terhadap nash-nash yang bertentangan dengan pendapatnya? Kamu tidak akan menemukan seorang mubtadi‘ kecuali ia menyukai menyembunyikan dalil-dalil yang bertentangan dengannya. Ia tidak senang meriwayatkannya, tidak ingin membacanya, dan tidak suka jika orang lain menggunakannya sebagai hujjah. Ini termasuk ciri dasar dan sifat ahli bid‘ah: mereka menyembunyikan nash, menyelisihi hadis, tidak menampakkan riwayat, dan enggan berhujjah dengannya. Karena itulah Ahlus Sunnah adalah golongan yang paling bahagia dengan hadis, baik dalam periwayatan maupun pemahaman. Mengapa? Karena kamu tidak akan

menemukan ahli bid‘ah kecuali dia fanatik terhadap pendapatnya sendiri, dan tidak akan kamu temukan seorang mubtadi‘ kecuali ia merendahkan Ahlul Haq.

وهذه كلها من آثار الابتلاء في الدين، فإن الابتلاء في الدين يؤدي إلى أمرين

متلازمين: التعصّب للرأي، وكتمان ما عند الآخرين من الحق. وهاتان الصفتان

ملازمتان لكل أهل البدع. وهاتان الصفتان الخطيرتان تؤديان إلى أمر أعظم،

وهو أن بعض أهل البدع لا يزال بهم الأمر حتى يستحلوا السيف ويستبيحوا

دماء المخالفين. وهذا الذبح والقتل والعدوان ما هو إلا ثمرة لترك الواجب،

وكتمان الحق، والتعصب للباطل .

Semua ini merupakan dampak dari ujian dalam agama (ibtilā’ fī al-dīn), sebab ujian dalam agama akan mengakibatkan dua hal yang saling berkaitan: fanatisme terhadap pendapat sendiri, dan penyembunyian kebenaran yang ada pada orang lain. Dua sifat ini selalu ada dalam setiap ahli bid‘ah. Dan dua sifat yang berbahaya ini akan berujung pada sesuatu yang lebih mengerikan: sebagian ahli bid‘ah pada akhirnya menghalalkan pedang (kekerasan), dan menumpahkan darah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Maka pembunuhan, kekerasan, dan permusuhan itu adalah buah dari meninggalkan kewajiban,

menyembunyikan kebenaran, dan fanatisme terhadap kebatilan.

ولهذا يأتينا جواب لسؤال مفترض: لماذا شددت الشريعة في زمن انتشار أهل

البدع؟ نقول: لآثارهم، ومن ذلك ما ذكره المصنّف رحمه الله تعالى، أن المبتدع

في النتيجة يترك واجبًا، ويتعصّب لرأيه، ولا يعترف بظهور الحق، ولا يقبله،

ولا يأخذ الحق من غيره. وهذه الأمور الثلاثة في غاية الخطورة .

Oleh karena itu, kita mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mungkin muncul: Mengapa syariat begitu tegas terhadap ahli bid‘ah pada masa tersebarnya mereka? Kita jawab: karena akibat-akibat dari bid‘ah tersebut. Di antaranya, seperti yang dijelaskan oleh penulis rahimahullah, bahwa seorang mubtadi‘ pada akhirnya meninggalkan kewajiban, fanatik terhadap pendapatnya sendiri, tidak mau mengakui kebenaran, tidak menerima kebenaran dari pihak lain. Ketiga hal ini sangat berbahaya.

نعم، أحسن الله إليكم. قال الخميّس رحمه الله تعالى: هجر العاصي يختلف

باختلاف الأحوال والمصالح. وهنا فائدة مهمة: هذا التفصيل يُستفاد منه في

مناظرة أهل البدع وفي الردّ عليهم، إذ إنك تبدأ أوّلًا بالبحث في الواجب الذي

تركوه، ثم تبحث في كتمانهم للنصوص، ثم تبحث في ردّهم للحقّ من الأدلة

التي عند أهل الحقّ. وهذا مهم ج ا دا في باب مناظرتهم، أو في باب الرد عليهم .

Ya, semoga Allah memberkahi Anda. Al-Khamis rahimahullah berkata: Menghajr pelaku maksiat berbeda-beda tergantung pada kondisi dan maslahat. Dan di sini terdapat faedah penting: rincian ini sangat bermanfaat dalam berdebat dengan ahli bid‘ah dan membantah mereka. Pertama, kamu cari dulu kewajiban apa yang telah mereka tinggalkan. Lalu lihat bagaimana mereka menyembunyikan dalil-dalil. Kemudian teliti bagaimana mereka menolak kebenaran yang disampaikan oleh para pengikut kebenaran. Ini sangat penting dalam bab debat ilmiah dan pembantahan terhadap mereka.

وهنا أيضًا فائدة تربوية: إننا إذا أردنا تحصين الناس من البدع، فعلينا أولًا أن

نعرفهم بالواجب. نعم، نعلّمهم الواجب. أي: قبل أن نتكلّم عن دم الشرك، نتكلّم

عن التوحيد. ولهذا، فالنهي عن المنكر فرع عن الأمر بالمعروف. فالنهي عن

المنكر لا بد أن يكون بعد معرفة المعروف، لأن الأصل، كما ذكرنا، في كل

باب هو الأمر بالمعروف أو فعل الواجب .

Dan di sini juga ada pelajaran pendidikan (tarbawi): jika kita ingin melindungi masyarakat dari bahaya bid‘ah, maka langkah pertama adalah mengenalkan mereka pada kewajiban. Ya, kita ajarkan mereka tentang kewajiban terlebih dahulu. Maksudnya, sebelum kita berbicara tentang

bahaya syirik, kita ajarkan terlebih dahulu tentang tauhid. Oleh karena itu, larangan terhadap kemungkaran adalah cabang dari perintah terhadap kebaikan. Melarang kemungkaran harus didahului dengan pemahaman terhadap kebaikan, karena prinsip utama dalam semua pembahasan adalah perintah terhadap yang ma‘ruf atau pelaksanaan kewajiban.

أحسن الله إليكم، قال رحمه الله: العاصي والمبتدع يُهجَران بحسب الأحوال.

وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين، بحسب قوّتهم، وبأسهم، وقلّتهم،

وكثرتهم. فإن المقصود بهجرانهم هو تحذير العامّة منهم. فإن كانت المصلحة

في ذلك راجحة بحيث يُفضي هجره إلى إقامة الشرع وقطع الانتشار، كان

مشروعًا. وإن كان الهجر لا يؤثر، بل يزيد الشر، وكان الهاجر ضعيفًا، فحينئذ

لا يُشرع الهجر، بل يكون التأليف لبعض الناس أنفع من الهجر .

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Beliau (Ibnu Taymiyyah) rahimahullah berkata: Pelaku maksiat dan ahli bid‘ah dihajr (diasingkan) sesuai kondisi. Dan bentuk hajr ini berbeda-beda tergantung siapa yang melakukannya — apakah ia kuat, berpengaruh, banyak pengikutnya, atau justru minoritas. Tujuan dari hajr adalah memperingatkan masyarakat umum dari mereka. Maka jika dalam kondisi tertentu, manfaat dari hajr lebih besar — seperti menegakkan syariat dan menghentikan penyebaran bid‘ah — maka hajr itu disyariatkan. Namun jika hajr tidak

memberikan dampak apa pun atau malah memperburuk keadaan, sementara orang yang menghajr itu lemah, maka hajr tidak disyariatkan, bahkan pendekatan dan pengaruh (ta'lif) bisa lebih bermanfaat daripada hajr dalam sebagian kasus.

ولهذا، كان النبي صلى الله عليه وسلم يؤلّف قلوب قوم ويهجر آخرين. كما أن الثلاثة الذين خُلّفوا

كانوا خيرًا من كثير من المؤلّفة قلوبهم، لكنهم كانوا من سادة قومهم، وكانت

المصلحة الدينية في تأليف قلوب المؤلّفة، أما الثلاثة فكانوا من المؤمنين، فكان

من المصلحة زجرهم وتطهيرهم من ذنوبهم. وهذا مثل ما شُرع في العدو:

القتال تارة، والمهادنة تارة، وأخذ الجزية تارة، بحسب الأحوال .

Oleh sebab itu, Nabi صلى الله عليه وسلم terkadang mendekati dan melunakkan hati suatu kaum, sementara beliau menghajr kaum lainnya. Contohnya, tiga orang sahabat yang ditinggalkan (karena tidak ikut perang Tabuk) itu lebih baik daripada sebagian besar dari orang-orang yang hatinya dilunakkan (muallaf). Namun karena yang muallaf adalah pemuka kaum mereka, maka maslahat agama saat itu adalah mendekati mereka. Adapun tiga sahabat itu adalah orang-orang beriman, maka maslahatnya adalah memberi peringatan dan menyucikan mereka dari dosa. Hal ini seperti syariat dalam menghadapi musuh: terkadang disyariatkan perang, terkadang berdamai, dan terkadang dengan

memungut jizyah — semuanya tergantung pada situasi dan kondisi.

أحسن الله إليكم، قال حمه الله تعالى: هجر العاصي يكون بحسب الأحوال

والمصالح. وهنا فائدة – عفوًا – هذا المسلك يُستفاد منه في مناظرة أهل البدع

وفي الرد عليهم. أنك تأتي أولًا فتبحث في الواجب الذي تركوه، ثم تبحث في

كتمانهم للنصوص، ثم تبحث في ردّهم للحق من الأدلة التي عند أهل الحق،

وهذا أمر مهم في باب المناظرات أو في باب الرد عليهم .

Semoga Allah memberkahi Anda. Telah berkata Syaikhul Islam rahimahullah berkata bahwa menghajr pelaku maksiat itu tergantung pada kondisi dan maslahat. Dan di sini terdapat faedah penting—afwan—bahwa metode ini sangat bermanfaat dalam berdebat dengan ahli bid‘ah atau dalam membantah mereka. Pertama-tama, Anda meneliti kewajiban apa yang mereka tinggalkan. Lalu, Anda meneliti bagaimana mereka menyembunyikan dalil-dalil. Kemudian, Anda teliti bagaimana mereka menolak kebenaran dari dalil-dalil yang dipegang oleh ahlul haqq. Ini sangat penting dalam bidang debat dan bantahan ilmiah.

وهنا أيضًا فائدة تربوية، أننا إذا أردنا أن نحصّن الناس من البدع، فعلينا أولًا أن

نُعرّفهم بالواجب. نُعرّفهم بالواجب. أي قبل أن نتكلّم عن ذمّ الشرك، نتكلّم عن

التوحيد. ولهذا، فإن النهي عن المنكر فرع عن الأمر بالمعروف، والنهي عن

المنكر لا يُفهم إلا بعد معرفة المعروف، لأن الأصل في كل باب هو الأمر

بالمعروف أو فعل الواجب .

Dan di sini juga terdapat KAIDAH TARBAWIYAH: apabila kita ingin melindungi masyarakat dari bahaya bid‘ah, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenalkan mereka kepada kewajiban. Kita kenalkan mereka kepada kewajiban. Artinya, sebelum berbicara tentang celaan terhadap syirik, kita harus lebih dahulu berbicara tentang tauhid. Oleh karena itu, larangan terhadap kemungkaran adalah cabang dari perintah terhadap kebaikan. Dan larangan terhadap kemungkaran tidak bisa dipahami kecuali setelah mengenal kebaikan, karena pokok dari setiap perkara adalah amar ma‘ruf atau pelaksanaan kewajiban.

أحسن الله إليكم، قال رحمه الله: العاصي والمبتدع يُهجَران بحسب الأحوال.

وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين بقوتهم وبأسهم وقلّتهم وكثرتهم. فإن

المقصود بالهجر هو تحذير العامة من مثل هؤلاء، فإن كانت المصلحة في ذلك

راجحة بحيث يؤدي الهجر إلى إقامة الشرع، كان مشرو عًا، وإن كانت المفسدة

فيه راجحة، كأن يزيد الشر، والهاجر ضعيف، لم يُشرع الهجر، بل يكون

التأليف لبعض الناس أنفع من الهجر .

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Beliau (Ibnu Taymiyyah) rahimahullah berkata bahwa pelaku

maksiat dan ahli bid‘ah dihajr sesuai dengan kondisi. Hajr ini pun berbeda tergantung pada siapa yang melakukannya—apakah dia kuat atau lemah, banyak atau sedikit. Tujuan dari hajr adalah memperingatkan masyarakat umum dari mereka. Jika hajr tersebut menghasilkan maslahat yang besar, seperti menegakkan syariat, maka ia disyariatkan. Tetapi jika hajr justru menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, seperti meningkatnya keburukan dan pelakunya tidak punya kekuatan, maka hajr tidak disyariatkan. Dalam kondisi seperti ini, justru pendekatan (ta’līf) bisa lebih bermanfaat daripada hajr.

ولهذا، كان النبي صلى الله عليه وسلم يؤلّف قلوب قوم ويهجر آخرين. كما أن الثلاثة الذين خُلّفوا

كانوا خيرًا من كثير من المؤلّفة قلوبهم، لكن لما كان أولئك سادة مقربين في

عشائرهم كانت المصلحة الدينية في تأليف قلوبهم، وأما الثلاثة فكانوا مؤمنين،

فكان من المصلحة زجرهم وتطهيرهم من ذنوبهم .

Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلم kadang mendekati suatu kaum dan kadang menghajr kaum yang lain. Tiga orang sahabat yang ditinggalkan (karena tidak ikut perang Tabuk) sebenarnya lebih baik daripada banyak orang yang termasuk muallaf, namun karena para muallaf itu adalah tokoh-tokoh dari suku mereka, maka maslahat agama menuntut untuk mendekati

hati mereka. Sedangkan tiga sahabat tadi adalah orang-orang beriman sejati, sehingga maslahatnya adalah menegur dan menyucikan mereka dari dosa.

وهذا كما أن المشروع في معاملة العدو: القتال تارة، والمهادنة تارة، وأخذ

الجزية تارة، كل ذلك بحسب الأحوال. نعم، هل يُهجر العاصي أو المبتدع؟

بحسب الأحوال والمصالح. وهذه مسألة في غاية الأهمية. لأن الهجر حكم

شرعي، وإذا قلنا إنه حكم شرعي، فهو متعلّق بالشروط وانتفاء الموانع، ويُدار

مع الغايات والمقاصد .

Dan hal ini serupa dengan syariat dalam menghadapi musuh: terkadang diperangi, terkadang dibuat perjanjian damai, dan terkadang dipungut jizyah—semua itu tergantung kondisi. Ya, apakah pelaku maksiat atau ahli bid‘ah harus dihajr? Jawabannya tergantung pada situasi dan maslahat. Ini adalah perkara yang sangat penting, karena hajr adalah hukum syar‘i. Jika kita katakan bahwa hajr adalah hukum syar‘i, maka itu berarti dia terikat dengan syarat-syarat, tidak adanya penghalang, dan berjalan seiring dengan tujuan-tujuan syariat.

هذا معنى القول بأن الهجر هديٌ شرعي، وليس حكمًا عقليًا، ولا رأيًا اجتهاديًا.

وبالتالي، يختلف الحكم باختلاف الأحوال، واختلاف الزمان والمكان، واختلاف

الهاجرين. فمثلًا، عندما يكون الداعية المسلم في بلد هو فيه مستضعف، كيف

يهجر أهل البدع؟ هو نفسه مستضعف، فكيف يمكنه الهجر؟ فإن بعض الدعاة

في هذا الواقع يفرض على نفسه الهجر، فيبقى في بيته، وتتوقف دعوته. هذا هو

الواقع .

Inilah maksud dari pernyataan bahwa hajr adalah petunjuk syar‘i, bukan keputusan akal atau sekadar pendapat ijtihad. Oleh karena itu, hukumnya berbeda-beda tergantung pada keadaan, waktu, tempat, dan siapa yang melakukan hajr. Misalnya, jika seorang dai Muslim berada di negeri yang ia dalam posisi lemah, bagaimana dia bisa menghajr ahli bid‘ah? Dia sendiri dalam posisi tertindas—bagaimana mungkin dia mampu menghajr? Maka sebagian dai dalam realitas ini memaksakan hajr pada dirinya sendiri hingga ia mengurung diri di rumah, dan dakwahnya pun terhenti. Inilah kenyataannya.

إذاً، الهجر عند العلماء المحققين من الأحكام التي تحتاج إلى قدرة وتمكين، ولا

يكون إلا عند ظهور السنة. ولهذا، هل كان الهجر في العهد المكي أم في العهد

المدني؟ الجواب: في العهد المدني. لأنه لا يمكن تطبيق الهجر في العهد المكي.

وهذا معنى أن تنظر إلى قوة الهاجر، وضعفه، وقلّته، وكثرته .

Jadi, menurut para ulama yang teliti, hajr adalah hukum yang membutuhkan kekuatan dan kemampuan untuk diterapkan, dan itu hanya bisa dilakukan saat sunnah sudah

tampak dominan. Maka apakah hajr diterapkan di masa Makkah atau Madinah? Jawabannya: di masa Madinah. Karena hajr tidak bisa dijalankan di masa Makkah. Inilah maksud dari pentingnya melihat kekuatan, kelemahan, jumlah yang sedikit atau banyak dari orang-orang yang menghajr.

في بعض المناطق، تجد الدعاة إلى الكتاب والسنة قلائل، وأكثر الناس عندهم

من أهل البدع. في مثل هذا الحال لا يُتصور الهجر، بل الواجب أن يُؤلهف الناس

على السنة، ولا يُقال بهجرهم. وهذا ما أشار إليه شيخ الإسلام رحمه الله. وهذا

تأصيل في غاية الأهمية .

Di sebagian daerah, kita dapati para dai yang menyeru kepada Al-Qur'an dan Sunnah sangat sedikit, sementara mayoritas masyarakat adalah pengikut bid‘ah. Dalam kondisi seperti ini, hajr (boikot) tidak bisa diterapkan. Bahkan yang wajib adalah mendekatkan hati masyarakat kepada sunnah. Tidak tepat jika langsung menyerukan hajr kepada mereka. Inilah yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam rahimahullah. Ini adalah landasan ilmiah yang sangat penting.

الأمر الثاني: ننظر إلى المصلحة من الهجر، فإن قاعدة الشريعة لا تعاقب أحدًا

لأجل العقاب فقط، الشريعة لا تريد الانتقام من الخلق، وإنما تعاقبهم لأجل

مصلحة . فإذا زالت المصلحة أو انهدمت، يسقط اللوم .

Hal kedua: kita melihat kepada maslahat dari boikot (hajr), karena kaidah syariat tidak menghukum seseorang hanya demi menghukum. Syariat tidak menginginkan balas dendam terhadap makhluk, tetapi menghukum karena adanya maslahat.

Maka jika maslahat itu hilang atau runtuh, gugurlah celaan itu.

هنا السؤال: أنا في بلد، وهناك مبتدع، يجب الفرض الأول أن أكون أنا ضعيفًا.

هل أبدأ بهذا؟

الصورة الثانية أن أكون ماذا؟ متمكنًا .

Di sini muncul pertanyaan: saya berada di suatu negeri, dan di sana ada seorang pelaku bid‘ah. Asumsinya pertama saya dalam keadaan lemah. Apakah saya langsung memulai (boikot)? Gambaran kedua adalah saya dalam posisi apa? Mampu.

هل يجب عليك الهجر؟ نعم، أحسنتم. ننظر في المصلحة .

فإذا كان الهجر يؤدي إلى أن شر هذا المبتدع يزداد، أنا ماذا فعلت؟ زدت من

شره .

Apakah wajib atasmu melakukan hajr? Ya, bagus. Kita lihat pada maslahatnya.

Jika boikot menyebabkan kejahatan si pelaku bid‘ah semakin besar, Apa yang saya lakukan? Saya justru menambah keburukannya.

متى يجب الهجر؟ في حالتين :

إذا غلب على ظني أن الهجر سيفضي إلى إزالة بدعته، أو إلى تقليل شأنه،

وأيضًا إذا لم توجد مفسدة .

Kapan hajr wajib dilakukan? Dalam dua keadaan:

Jika saya lebih yakin bahwa hajr akan menghilangkan bid‘ahnya, atau setidaknya merendahkan kedudukannya, juga ketika tidak ada mafsadat yang timbul darinya.

لكن إذا كان الهجر لا يأتي بشيء، في مجتمعك، بين أقاربك، أحيانًا بعض

أنواع الهجر لا تأتي بفائدة، فمتى يجب الهجر؟ عندنا يفضي الهجر إلى رفع

الشر، أو تقليله، أو انتفاع المهجور منه، أو انتفاع الناس .

Namun jika hajr tidak mendatangkan hasil, di komunitasmu, di antara kerabatmu—kadang sebagian bentuk hajr tidak mendatangkan manfaat, lalu kapan hajr wajib? Ketika hajr membawa pada pengurangan keburukan, atau memberi manfaat kepada yang di-hajr/di-boikot, atau kepada masyarakat.

بهذه الصورة، ماذا يكون الهجر؟

لهذا الهجر يحتاج إلى طبيب، لا إلى شخص عاطفي .

لماذا؟ لأن الأمر فيه آثار، وهذا معنى كلام شيخ الإسلام رحمه الله .

Dengan kondisi seperti ini, bagaimana bentuk hajr?

Karena itu, hajr membutuhkan orang yang paham (seperti dokter), bukan orang yang emosional.

Kenapa? Karena masalah ini punya dampak, dan ini makna dari perkataan Syaikhul Islam, rahimahullah.

وعليه، من هذا الكلام، وقبل أن ننتقل إلى الملاحظة، إذا تعذر الهجر، ماذا

يصاب؟

أنا الآن في بلد لا أستطيع فيه هجر أهل البلد، ماذا ترى؟

أوافقك، لكن انتبه: الأصل الأول، ماذا قلنا عن الهجر؟

Berdasarkan hal ini, sebelum masuk ke catatan berikutnya, Jika hajr tidak memungkinkan, apa yang harus dilakukan? Saya sekarang berada di negara yang saya tidak mampu melakukan hajr terhadap masyarakatnya, bagaimana menurutmu? Saya setuju denganmu, tapi perhatikan: prinsip pertama, apa yang telah kita katakan tentang hajr?

إذا تعذر الهجر، يُنتقل إلى التأليف، ما معنى تأليف القلوب؟ أي تقليب شرهم،

Jika hajr tidak memungkinkan, maka berpindahlah kepada pendekatan hati (ta’līf al-qulūb), Apa maksudnya ta’līf al-qulūb? Yaitu mengurangi keburukan mereka,

(Tapi perhatikan: antara dua pendekatan itu, bisa saja ada bentuk lain seperti menjaga jarak tapi bukan berarti hajr total.)

يعني الأصل الهجر، فإذا كنت عاجزًا، انتقل إلى تأليف القلوب، ولكن لا تتوسع

في هذا الباب،

لماذا؟ ربما هذا المبتدع من التعصب بحيث لا ينفع معه تأليف القلوب، فهنا

الترك .

Artinya, hajr adalah prinsip utama, namun jika kamu tidak mampu, beralihlah ke pendekatan hati, tapi jangan terlalu luas dalam menggunakan pendekatan ini,

Kenapa? Karena bisa jadi pelaku bid‘ah itu sangat fanatik, sehingga pendekatan hati tidak berguna, maka di sini berlaku sikap meninggalkan (ترك ).

خذ العفو، إذًا هي كم مرحلة؟ ثلاث .

أحسنتم، وأنا دائمًا أسألكم عن الرقم، قولوا: ثلاث .

طيب، أولًا: الهجر، ثم إذا لم تتوفر الشروط: تأليف القلوب، ثم إذا لم تنفع: خذ

العفو، وأمر بالعرف، وأعرض عن الجاهلين .

Ambillah sikap pemaaf. Jadi, ada berapa tahapan? Tiga.

Bagus. Saya (Syaikh Fathy hafizhahullah) selalu tanya soal angka, katakan: tiga.

Pertama: hajr. Jika syaratnya tidak terpenuhi: pendekatan hati, Jika tidak juga bermanfaat: ambil sikap pemaaf, perintahkan yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.

هذه الآية أصل في الباب، وهذه الآية منهج مكي مدني، ولهذا من الأخطاء

الموجودة أن بعض الدعاة يلتزم طريقًا واحدًا، إما الهجر دائمًا أو الترك دائمًا،

والصحيح أن هذا يختلف باختلاف الأحوال، والمصالح، والزمان، والمكان .

Ayat ini adalah dasar dalam masalah ini. Ayat ini adalah manhaj yang berlaku di Makkah maupun Madinah, karena itu, kesalahan sebagian dai adalah hanya memilih satu jalan, Entah selalu hajr atau selalu meninggalkan hajr, Yang benar: sikap ini harus disesuaikan dengan keadaan, maslahat, waktu, dan tempat.

عفوًا، سألني أحدكم أن أذكر تلخيصًا لشروط الهجر :

أولًا: أن يكون المهجور مبتدعًا بدعةً ظاهرة، أي وقع في بدعة تخالف السنة،

وقد أُقيمت عليه الحجة،

فلا يُوصف بالابتداع إلا بذلك .

Maaf, seseorang bertanya padaku untuk menyebutkan ringkasan syarat-syarat hajr:

Pertama: orang yang di-boikot adalah pelaku bid‘ah yang jelas, Artinya, ia jatuh pada bid‘ah yang bertentangan dengan sunnah dan sudah ditegakkan hujah atasnya,

Karena seseorang tidak boleh disebut mubtadi‘ kecuali dengan itu.

ثانيًا: أن يكون داعية إلى بدعته، وهذا ما تقرر في الفقرة الأولى، لأنه إن لم

يكن داعية، فالأصل أنه لا يُهجر .

ثالثًا: أن تترتب على الهجر مصلحة راجحة معتبرة .

Kedua: ia adalah seorang penyebar bid‘ah, dan ini sudah dijelaskan pada paragraf pertama, Karena jika dia bukan penyebar, maka asalnya tidak perlu dihajr.

Ketiga: hajr itu menghasilkan maslahat yang lebih kuat dan diakui.

أحسن الله إليكم، قال شيخ الإسلام رحمه الله تعالى: الأمر في الجماعة

والاختلاف، والنهي عن البدعة والافتراق، ونهى عن مظهر بدعته لمصلحة

راجحة، إن الله أمر بالجماعة ونهى عن البدعة والاختلاف، وقال :

)إِّ ه ن الهذِّينَ فَ ه رقُوا دِّينَهُمْ وَكَانُوا شِّيَعًا لَسْتَ مِّنْهُمْ فِّي شَيْءٍ (

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: "عليكم بالجماعة، فإن يد الله مع الجماعة، والشيطان مع الواحد،

وهو من الاثنين أبعد ".

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Syaikhul Islam rahimahullah berkata: dalam hal berjamaah dan perpecahan, syariat memerintahkan untuk bersatu dan melarang bid‘ah serta perpecahan. Ia melarang menampakkan bid‘ah kecuali jika ada maslahat yang jelas. Allah memerintahkan untuk berjamaah dan melarang bid‘ah serta perselisihan.

Dia berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, kamu bukanlah bagian dari mereka sedikit pun."

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Wajib atas kalian untuk bersama jamaah, karena tangan Allah bersama jamaah, sedangkan syaitan bersama orang yang sendirian, dan ia semakin jauh dari dua orang."

فالواجب على المسلم إذا صار في مدينة من مدائن المسلمين أن يصلي معهم

الجمعة والجماعة، مع المؤمنين، ولا يعاديهم ولا يعافيهم، وإن رأى بعضهم

ضالًا أو غاويًا، وأمكن أن يهديه ويرشده، فعليه ذلك، وإلا فلا يكلف الله نفسًا إلا

وسعها .

Maka wajib atas seorang Muslim ketika berada di suatu kota kaum Muslimin untuk menunaikan salat Jumat dan berjamaah bersama mereka. Jangan memusuhi atau menjauhi mereka. Jika dia melihat sebagian dari mereka dalam kesesatan atau penyimpangan, dan dia mampu memberi petunjuk serta bimbingan, maka hendaknya dia melakukannya. Jika tidak, maka Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya.

وإذا كان قادرًا على أن يولي في إمامة المسلمين الأفضل، فليفعل .

وإن قرر أن يمنع ما يُظهر البدعة والفجور، فليفعل .

أما إن لم يقدر على ذلك، فالصلاة الفرد أفضل، كما في كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم،

ولا طاعة لمخلوق في معصية الخالق .

Jika dia mampu untuk menjadikan orang terbaik sebagai imam bagi kaum Muslimin, hendaknya dia melakukannya.

Jika ia menetapkan untuk mencegah munculnya bid‘ah dan kefajiran, maka lakukanlah.

Namun jika tidak mampu, maka salat sendirian lebih utama,

sebagaimana disebutkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.

كما قال النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: "يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله، فإن كانوا

في القراءة سواء، فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواء، فأقدمهم هجرة،

فإن كانوا في الهجرة سواء، فأكبرهم سنًا ".

وإن كان في هديه بدعة أو فجور، وكانت هناك مصلحة ظاهرة، جاز هجره،

كما هجر النبي صلى الله عليه وسلم الثلاثة الذين خُلِّّفوا حتى تاب الله عليهم .

Sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits sahih: "Yang mengimami kaum adalah yang paling baik bacaannya terhadap Kitabullah. Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang paling tahu sunnah. Jika sama dalam sunnah, maka yang paling dahulu hijrah. Jika sama dalam hijrah, maka yang paling tua usianya."

Jika seseorang memiliki kebiasaan bid‘ah atau kefasikan, dan ada maslahat yang jelas, maka boleh dihajr, sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلم menghajr tiga orang yang tidak ikut berperang, hingga Allah menerima taubat mereka.

وأما إذا وُلِّّي غيرهم بغير إذنه، وليس في ترك الصلاة خلفه مصلحة شرعية،

فإن ترك الجمعة والجماعة في جهل وضلال، ويكون قد رد بدعة ببدعة .

وتعلمون أن من الفوائد العظيمة، التي هي من جماع الدين: تأليف القلوب،

واجتماع الكلمة، وصلاح ذات البين .

Adapun jika yang menjadi imam adalah selain dari yang ditunjuk dan tidak ada maslahat syar‘i dalam meninggalkan salat di belakangnya, maka meninggalkan Jumat dan berjamaah dalam keadaan ini adalah kebodohan dan kesesatan. Ia telah membalas bid‘ah dengan bid‘ah.

Ketahuilah bahwa salah satu manfaat besar dalam agama ini adalah menyatukan hati, mempersatukan kalimat (persatuan), dan memperbaiki hubungan sesama.

فإن الله تعالى يقول : )فَاتهقُوا ه اللََّ وَأَصْلِّحُوا ذَاتَ بَيْنِّكُمْ (

ويقول : )وَاعْتَصِّمُوا بِّحَبْلِّ ه اللَِّّ جَمِّيعًا وَلَا تَفَ ه رقُوا(

ويقول : )وَلَا تَكُونُوا كَالهذِّينَ تَفَ ه رقُوا وَاخْتَلَفُوا مِّنْ بَعْدِّ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّّنَاتُ (

وأولئك لهم عذاب عظيم .

Sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman: "Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian."

Dan Dia berfirman: "Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan jangan bercerai-berai."

Dan Dia juga berfirman: "Janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas."

Mereka itulah yang akan mendapatkan azab yang besar.

وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف، وتنهى عن الفسق

والاختلاف .

وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة، كما أن الخارجين عنهم هم أهل الفرقة .

Dan banyak lagi nash lainnya yang memerintahkan persatuan dan kebersamaan, serta melarang kefasikan dan perpecahan.

Mereka yang berpegang pada prinsip ini adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, sedangkan yang menyimpang darinya adalah ahli perpecahan.

المصنف رحمه الله تعالى في هذا النص ذكر جملة من الأصول والقواعد

والضوابط المهمة .

وأولها وأعظمها: الأمر بالاجتماع والنهي عن الاختلاف .

والأمر بالاجتماع والنهي عن الخلاف فرع، والمقصود بالاجتماع: الاجتماع

الذي أمر الله تعالى به،

وهو اجتماع أهل الحق على الكتاب والسنة .

Penulis rahimahullah dalam teks ini menyebutkan sejumlah prinsip, kaidah, dan pedoman penting.

Yang pertama dan paling agung: perintah untuk bersatu dan larangan dari perpecahan.

Perintah untuk bersatu dan larangan dari perbedaan adalah turunan dari prinsip yang lebih besar. Maksud dari “berkumpul” adalah bersatunya orang-orang yang berada di atas kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

والله تعالى خاطب المؤمنين فقال بالتقوى : )يَا أَيُّهَا الهذِّينَ آمَنُوا اتهقُوا ه اللََّ حَ ه ق

تُقَاتِّهِّ وَلَا تَمُوتُ ه ن إِّ ه لا وَأَنْتُمْ مُسْلِّمُونَ (

ثم أمرهم بأمر عظيم : )وَاعْتَصِّمُوا بِّحَبْلِّ ه اللَِّّ جَمِّيعًا وَلَا تَفَ ه رقُوا (

Allah Ta‘ala menyeru orang-orang beriman dengan perintah takwa:

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim."

Lalu Allah memberikan perintah besar kepada mereka: "Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai-berai."

والمقصود بالأمر بالاعتصام أي الاحتماء، والاعتصام الذي تجتمعون عليه هو

حبل الله ودينه، وهو الصراط المستقيم، وهو الجماعة .

والاعتصام من العصمة، أي الاحتماء بشيء، فيه إشارة أن الاجتماع لا يكون

إلا بالتمسك، لا بمجرد الدعوى .

Maksud dari perintah untuk berpegang teguh adalah mencari perlindungan, dan sesuatu yang menjadi tempat bergantung bersama adalah tali Allah dan agama-Nya, Yaitu jalan yang lurus, yaitu al-jamaah.

Kata “i‘tiṣhām” berasal dari “‘iṣhmah” (perlindungan), artinya berlindung kepada sesuatu, Ini menunjukkan bahwa persatuan tidak bisa terwujud kecuali dengan berpegang teguh, bukan sekadar klaim.

فلو قلت الآن لكم: "اجتمعوا"، و"عليكم بالاجتماع" فهذا كلام إنشائي .

لكن لو ذكرت لكم الأسباب الموجبة للاجتماع فهذا هو الكلام الشرعي .

لأن الاجتماع جاء بلفظ الأمر : )وَاعْتَصِّمُوا( كأنك لا تجتمع إلا إذا اعتصمت،

وتمسكت بحبل الله .

Kalau saya sekarang mengatakan kepada kalian: “Bersatulah,” atau “Wajib atas kalian untuk bersatu,” itu hanyalah kalimat seruan.

Tetapi jika saya menyebutkan kepada kalian sebab-sebab yang mewajibkan persatuan, itu baru ucapan syar‘i.

Karena perintah persatuan datang dengan bentuk kata kerja perintah: "Wa‘taṣimū" (berpeganglah),

Seakan-akan kamu tidak bisa bersatu kecuali jika kamu berpegang pada tali Allah.

فإذا أردنا أن نجتمع، لا نجتمع إلا إذا اتفقنا على أننا جميعًا نتمسك بحبل الله،

فإن تمسكنا ظهر الاجتماع، وإن تركنا ظهر الاختلاف، وجمع الكلمة على غير

مراد الشرع لا يعتبر .

فليس المقصود التجمع الشكلي، بل التمسك بمنهج الله .

Maka jika kita ingin bersatu, kita tidak akan bisa bersatu kecuali jika kita semua sepakat untuk berpegang pada tali Allah.

Jika kita berpegang teguh, maka akan muncul persatuan; jika kita meninggalkannya, maka muncul perpecahan.

Mempersatukan kata-kata di luar kehendak syariat tidak dianggap.

Yang dimaksud bukan sekadar berkumpul secara formal, tetapi berpegang pada manhaj Allah.

تأملوا قوله تعالى : ) وَاعْتَصِّمُوا بِّحَبْلِّ ه اللَِّّ جَمِّيعًا وَلَا تَفَ ه رقُوا(

فيه أمر ونهي، الأمر أقوى، والنهي تابع له . فلما أمرنا الله بالاعتصام، نهانا عن

التفرق، لأن التفرق مانع من الاجتماع، والاختلاف والابتداع كذلك .

Perhatikan firman Allah Ta‘ala: "Berpeganglah pada tali Allah semuanya, dan jangan bercerai-berai."

Di dalamnya terdapat perintah dan larangan, Perintah lebih kuat, dan larangan mengikuti perintah itu. Ketika Allah memerintahkan kita untuk berpegang teguh, Dia melarang perpecahan, Karena perpecahan menghalangi persatuan, begitu pula perbedaan dan bid‘ah.

والسبيل إلى هذا الاجتماع بعد ترك التفرق، هو التذكير بالنعمة، وهي الأخوة

الإيمانية .

Dan jalan menuju persatuan setelah meninggalkan perpecahan adalah dengan mengingatkan akan nikmat, yaitu ukhuwah (persaudaraan) dalam iman.

هذا، واذكروا نعمة الله عليكم، إذ كنتم أعداءً فألّف بين قلوبكم .

وفي هذا إشارة إلى أن الأصل في الاجتماع هو التعليم والتعريف، وتأليف

الأجساد وسيلة وسبب إلى تأليف القلو ب .

Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian, ketika kalian dahulu saling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian.

Ini menunjukkan bahwa dasar dalam persatuan adalah pembelajaran dan pengenalan, sedangkan penyatuan fisik (berkumpul) adalah sarana menuju persatuan hati.

ثم قال: كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تهتدون .

مع أن في الآية التي قبلها: }يَا أَيُّهَا الهذِّينَ آمَنُوا اتهقُوا ه اللََّ حَ ه ق تُقَاتِّهِّ{، هنا عدل عن

التقوى فقال: لعلكم تهتدون .

Kemudian Allah berfirman: "Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya agar kalian mendapat petunjuk."

Padahal dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya." Namun dalam ayat ini, Allah berpindah dari perintah takwa kepada harapan agar mendapat petunjuk.

لهذا، في هذه الآية أصلان عظيمان، وهما الاجتماع والاهتداء .

يعني: ما هو المطلوب منا؟ أولهما الاجتماع، وثانيهما الاهتداء .

Karena itu, dalam ayat ini terdapat dua prinsip besar: yaitu persatuan dan petunjuk.

Apa yang dituntut dari kita? Yang pertama adalah persatuan, dan yang kedua adalah petunjuk.

طيب، لو أن داعيةً يقول: لا، أنا يهمني الهداية والصواب .

ماذا نقول له؟ كما هو حالك في أصول أهل السنة، يأتي شخص فيقول: يا أخي،

المهم الآن جمع الكلمة، دعونا من السنة ! فهل الاجتماع وحده موافق؟ لا، لا بد

من التمسك .

Baik, kalau ada seorang da‘i berkata: "Saya hanya peduli pada petunjuk dan kebenaran."

Apa yang kita katakan padanya? Seperti keadaan sebagian orang yang mengaku mengikuti prinsip Ahlus Sunnah: ada yang berkata, “Yang penting sekarang ini adalah persatuan, lupakan soal sunnah.”

Apakah cukup dengan persatuan saja? Tidak, harus dibarengi dengan berpegang teguh pada kebenaran.

هذا ثابت في القرآن، لما قال: }وَاعْتَصِّمُوا بِّحَبْلِّ ه اللَِّّ جَمِّيعًا وَلَا تَفَ ه رقُوا{، قال

بعده: }لَعَلهكُمْ تَهْتَدُون{ .

ولفظ "لعل" إذا جاءت في القرآن تفيد الغاية والحكمة .

Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an: setelah firman-Nya "Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai-berai,"

Allah berfirman pula: "Agar kalian mendapat petunjuk."

Kata "la‘alla" dalam Al-Qur'an menunjukkan tujuan dan hikmah.

تفيد الغاية والحكمة، أي أن الغاية من الاجتماع هو الاهتداء .

فأيهما وسيلة وأيهما غاية؟ يعني، أتمنى أن يحصل اجتماع واتفاق على الجواب .

ولهذا، أعيد السؤال: الاجتماع والاهتداء، أيهما وسيلة وأيهما غاية؟

Artinya, kata tersebut menunjukkan bahwa tujuan dari persatuan adalah petunjuk.

Jadi mana yang merupakan sarana, dan mana yang merupakan tujuan?

Saya berharap ada kesepakatan tentang jawabannya.

Karena itu saya ulangi pertanyaannya: persatuan dan petunjuk, mana yang sarana dan mana yang tujuan?

نعم، الاجتماع وسيلة، والاهتداء غاية .

فالطريق إلى الهداية التامة ومنهج أهل السنة هو الاجتماع، وليس التفرق .

أقول هذا لأن بعضهم يظن أن السير على منهج السلف يعني دائمًا الجدال

والخلاف .

Ya, persatuan adalah sarana, sedangkan petunjuk adalah tujuannya.

Jalan menuju petunjuk yang sempurna dan manhaj Ahlus Sunnah adalah dengan bersatu, bukan berpecah.

Saya katakan ini karena sebagian orang mengira bahwa mengikuti manhaj salaf harus selalu dengan perdebatan dan perselisihan.

أما من لا يجادل ولا يخالف، ويتتبع مواضع الإجماع، يُقال إنه ضعيف أو

مداهن، وهذا خطأ كبير، لأن الاجتماع أصل من أصول الدين . لكنه يُطلب طلب

وسيلة، والاهتداء يُطلب طلب غاية .

Sementara orang yang tidak suka berdebat, tidak menyelisihi, dan justru mengikuti titik-titik ijma‘, dianggap lemah atau pencari muka, padahal ini kesalahan besar. Karena persatuan adalah salah satu prinsip pokok agama. Namun ia diminta sebagai sarana, sementara petunjuk adalah tujuan.

جمع الكلمة وسيلة، وكلمة التوحيد غاية . يعني، توحيد الكلمة وسيلة، وكلمة

التوحيد هي الغاية .

Mempersatukan kalimat adalah sarana, sedangkan kalimat tauhid adalah tujuan.

Artinya, menyatukan kata adalah wasilah/sarana, sedangkan kalimat tauhid adalah ghoyahnya/tujuannya.

واضح لكم هذا المعنى؟ المانع الأول من الاجتماع هو الحذر من الاختلاف،

والحذر من الابتداع في الدين .

Apakah makna ini sudah jelas bagi kalian? Penghalang utama dari persatuan adalah munculnya perselisihan, dan munculnya bid‘ah dalam agama.

والاجتماع يكون بالتقرب إلى الله بما شرعه، كحضور الجمعة، والجماعة،

والدعوة إلى الله،

وإرادة الخير للناس، وبذل الإحسان، كل هذا من الاجتماع .

Persatuan dicapai dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui apa yang telah Dia syariatkan, seperti menghadiri salat Jumat, berjamaah, berdakwah kepada Allah, berniat

baik kepada manusia, dan menebar kebaikan. Semua itu bagian dari persatuan.

ذكر شيخ الإسلام قاعدة تحتاجون إليها، تُشدّ لها الرحال، وهي أن مظاهر

الاجتماع كالجمع والجماعات لا تُترك، لأن بعض القائمين عليها من أهل البدع

أو الأذى .

Syaikhul Islam menyebutkan sebuah kaidah penting yang kalian butuhkan, bahkan pantas untuk didatangi dari tempat jauh, Bahwa bentuk-bentuk persatuan seperti salat berjamaah dan pertemuan tidak boleh ditinggalkan,

meskipun sebagian penyelenggaranya dari kalangan ahli bid‘ah atau menyakiti.

فقال: الأصل أن يُقدّم الأصلح، لكن إذا تعذر، تُقام الصلاة مع هؤلاء، ثم بيّن أن

النصح لهم ، ولا يجوز ترك الجمع والجماعات بحجة أن أئمتها من أهل البدع

والضلال .

Beliau berkata: pada dasarnya, hendaknya yang paling baik yang dipilih, tetapi jika tidak memungkinkan, maka tetap ditegakkan salat bersama mereka. Kemudian dijelaskan

bahwa menasihati mereka tetap wajib, dan tidak boleh meninggalkan salat berjamaah hanya karena imamnya berasal dari ahli bid‘ah dan kesesatan.

وبيّن في هذا أن من ترك الجمع والجماعات بذريعة أن أصحابها من أهل البدع

والأهواء، فكأنه ابتدع بدعة جديدة، وهي تعطيل الأحكام، وإبطال مقاصد

الاجتماع، وعدم النظر إلى المصالح العظيمة .

Dalam hal ini dijelaskan bahwa siapa saja yang meninggalkan salat berjamaah dengan alasan bahwa orang-orangnya dari kalangan ahli bid‘ah dan hawa nafsu, seolah-olah dia telah menciptakan bid‘ah baru, yaitu menonaktifkan hukum-hukum syariat, merusak tujuan dari persatuan, dan tidak memperhatikan maslahat besar yang terkandung di dalamnya.

أقول هذا لأن بعض الدعاة بدافع العاطفة قد يقعون في أخطاء كثيرة، ولا

يلتفتون إلى هذه الأمور العظيمة .

ثم أشار في آخر كلمته، وقال : وأهل هذا العصر هم أهل الجماعة .

Saya katakan ini karena sebagian dai, karena dorongan emosional, bisa terjatuh dalam banyak kesalahan, dan mereka tidak memperhatikan persoalan-persoalan besar ini. Kemudian beliau menutup dengan pernyataannya: Bahwa orang-orang di zaman ini adalah ahli jamaah (berjamaah).

فقال هنا: الأصل أن يُق ه دم الأصلح، لكن إذا تعذر، فتُقام الصلاة مع هؤلاء .

ثم بيهن أنه أيضًا يبقى واجب النصح لهم، فلا يجوز - هذا كلامه - أن تُترك

حضور الجمع والجماعات لكون أن الأئمة من أهل البدع والضلال .

Beliau berkata di sini: pada dasarnya yang lebih baiklah yang harus didahulukan, namun jika tidak memungkinkan, maka tetap didirikan salat bersama mereka.

Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa kewajiban menasihati mereka tetap berlaku, dan tidak dibenarkan meninggalkan kehadiran dalam salat Jumat dan jamaah hanya karena imam-imamnya termasuk dari kalangan ahli bid‘ah dan kesesatan.

وبيّن في هذا الجانب أن من ترك الجمع والجماعات بذريعة أن أصحابها من

أهل البدع والأهواء،

فكأنما يشير إلى أن هذا الرجل قد ابتدع بدعة في الإسلام، وهي تعطيل الأحكام،

وتثبيت مقاصد الاجتماع، وعدم الالتفات إلى المصالح العظام .

Beliau juga menjelaskan dalam bagian ini bahwa orang yang meninggalkan salat berjamaah dengan alasan bahwa imam-imamnya dari kalangan ahli bid‘ah dan hawa nafsu, seakan-akan orang tersebut telah membuat bid‘ah baru dalam Islam, yaitu menonaktifkan hukum-hukum syariat, menggugurkan tujuan persatuan, dan mengabaikan maslahat-maslahat besar.

قل هذا لأن بعض الدعاة، بدافع العاطفة، قد يقعون في أخطاء كثيرة، ولا

يلتفتون إلى هذه المسائل في هذا الوقت .

ثم أشار في آخر كلمته، قال: وأهل هذا العصر هم أهل الجماعة، كما أن

الخارجين عنهم أهل الفرقة .

Saya katakan ini karena sebagian dai, karena dorongan emosional, bisa terjatuh dalam banyak kesalahan, dan tidak memperhatikan persoalan-persoalan ini pada masa sekarang.

Kemudian beliau menutup dengan mengatakan: “Orang-orang pada zaman ini adalah Ahlul Jama‘ah, dan mereka yang menyimpang dari mereka adalah Ahlul Furqah (ahli perpecahan).”

ثم في الفرقة صاروا فرقة،

إخواني، ما هو اسمنا؟ وما هو لقبنا الديني؟ الأسماء الدينية: مسلم، حتى تتميز:

أهل السنة والجماعة .

Kemudian dalam perpecahan, mereka menjadi kelompok per kelompok.

Saudaraku, apa nama kita? Apa gelar kita secara keagamaan?

Nama keagamaan kita adalah: Muslim. Namun untuk membedakan, kita adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

الجملة العظيمة، وهذا اللقب الشرعي، مكوّن من كلمتين: أهل السنة والجماعة .

ما ضد "السنة"؟ البدعة . وما ضد "الجماعة"؟ الفرقة .

Ungkapan yang agung ini, dan nama syar‘i tersebut, terdiri dari dua kata: Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Apa lawan dari “sunnah”? Bid‘ah. Dan apa lawan dari “jamaah”? Perpecahan.

إذا الناس اثنان: إما أن يكون من أهل البدعة والفرقة، وإما أن يكون من أهل

السنة والجماعة .

ولا تُقبل المسألة في حقيقتها الشرعية التوسعة، يعني وحدة طيبة يقول: ممكن

أكون من أهل السنة والفرقة !

Maka manusia terbagi dua: mereka yang termasuk dari kalangan ahli bid‘ah dan perpecahan, dan mereka yang termasuk dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Tidak bisa dalam realitas syar‘i seseorang mengambil posisi tengah, yakni seseorang berkata dengan naif: “Mungkin saya termasuk Ahlus Sunnah tetapi juga kelompok yang berpecah!”

ويصنّف ويجرّح ويبدّع، ثم يقول: هذا طريقي، أنا على منهج أهل السنة !

ويأتي آخر - وقد سمعناها من بعض المتساهلين مع البدع - يقول: طيب، ما

المانع أن نكون من أهل البدعة والجماعة؟

Kemudian dia mulai menilai, mencela, dan membid‘ahkan orang lain, lalu berkata: “Inilah jalanku, aku berada di atas manhaj Ahlus Sunnah!”

Ada pula yang lain – dan ini kami dengar dari sebagian orang yang terlalu longgar terhadap bid‘ah – berkata: “Apa salahnya kita menjadi ahli bid‘ah tapi tetap menjaga jamaah?”

في واقعنا، هناك فئتان متقابلتان :

الأولى: في حقيقتها هم أهل السنة والفرقة، متمسكون بالسنة، لكن لا يلتفتون إلى

الجماعة .

والثانية: تدندن كثيرًا حول الجماعة، لكن بدون سنة !

Dalam realita kita hari ini, terdapat dua kelompok yang saling berlawanan:

Kelompok pertama: sejatinya adalah Ahlus Sunnah tapi terpecah, mereka memegang teguh sunnah tapi tidak memperhatikan persatuan.

Kelompok kedua: sangat lantang menyeru persatuan, namun tidak berpegang pada sunnah!

اللقب الشرعي لا يقبل التجزئة ولا التناقض. وهذا ما أشار إليه شيخ الإسلام،

وهو مهم في الجانب التربوي،

لأننا اليوم إما أن نلحق بتساهل في باب البدعة، وإما أن نرى دعوة إلى الفرقة .

Gelar syar‘i tidak dapat dipisahkan atau ditarik ke arah yang kontradiktif.

Inilah yang ditekankan oleh Syaikhul Islam, dan sangat penting dalam aspek pendidikan, karena hari ini kita berada di antara dua kecenderungan: kelonggaran terhadap bid‘ah,

atau ajakan kepada perpecahan.

والكامل في هذا الباب هو من التزم منهج السلف في هذا الباب . سطيب، أعطيكم

مجال للأسئلة . أسألكم يا شباب، ما نريد أن نسأل؟

تفضل .

Yang sempurna dalam bab ini adalah orang yang berpegang teguh pada manhaj salaf.

Baiklah, saya beri kalian kesempatan untuk bertanya.

Saya bertanya kepada kalian, wahai para pemuda, apa yang ingin kalian tanyakan?

Silakan.

ما العلاقة جزاكم الله خيرًا بين الهجر والتحذير؟ متى يكون الهجر؟ ومتى يكون

التحذير؟ نعم، نعم، أحسنت، بارك الله فيك .

Apa hubungan, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan, antara hajr (meninggalkan) dan tahdzir (peringatan)? Kapan seseorang boleh dihajr, dan kapan seseorang diberi peringatan? Ya, benar, bagus, semoga Allah memberkahimu.

كل تحذير، وليس كل تحذير أثر . بمعنى: التحذير يكون ممن خالف السنة،

فنحدد: التحذير من القول، والتحذير من القائل . أيّهما أصل؟ أحسنتم، التحذير

من القول .

Setiap bentuk tahdzir adalah sah, namun tidak semua tahdzir memberikan pengaruh.

Maksudnya: tahdzir ditujukan kepada siapa pun yang menyelisihi sunnah, Dan kita harus membedakan: tahdzir terhadap ucapan, dan tahdzir terhadap orang yang

mengucapkannya. Mana yang lebih utama? Ya, benar – tahdzir terhadap ucapan.

فإذا كان التحذير لا يتحقق إلا بالتحذير من القائل، فهنا الأمر واسع . يعني: أنت

مثلًا في بلد أو منطقة لا تتمكن من الهجر، هجر المبتدع لا يعني أنك لا تُحذّر

من البدع .

Jika peringatan (tahdzir) tidak bisa dilakukan kecuali dengan menyebut nama pelakunya, maka ruangnya lebih luas.

Misalnya: kamu berada di suatu negeri atau daerah yang kamu tidak mampu melakukan hajr, tetapi meninggalkan pelaku bid‘ah bukan berarti kamu tidak memperingatkan orang lain dari bid‘ah itu.

فلا شك أن التحذير تحديدًا يُراعى فيه الحكمة والمصلحة .

الهجر يُراعى فيه القدرة والمصلحة، أما التحذير فنراعي فيه الحكمة

والمصلحة .

Tidak diragukan lagi bahwa peringatan (tahdzir) secara khusus harus mempertimbangkan hikmah dan maslahat. Adapun hajr, harus mempertimbangkan kemampuan dan

maslahat, Sedangkan dalam tahdzir, yang diperhatikan adalah hikmah dan maslahat.

لماذا الحكمة؟ لأنه في مسجد صغير، ويأتي رجل يدعو إلى بدعة، ثم تُحذّر

منه في وسائل التواصل،

فماذا فعلت؟ نشرت بدعته .

Mengapa hikmah penting? Karena jika di sebuah masjid kecil, ada seseorang yang menyebarkan bid‘ah, Lalu kamu memperingatkannya secara terbuka di media sosial, apa yang telah kamu lakukan? Kamu malah menyebarkan bid‘ahnya.

يعني على هذا الرجل، وفّرت عليه النشر ! بشرط ماذا؟ البيئة ! إذا لم تلتفت لا

إلى المصلحة ولا إلى الحكمة، وقعت في خطأ عظيم .

Artinya kamu justru membantu orang itu dalam menyebarkannya! Padahal itu tergantung apa? Lingkungan dan situasinya! Jika kamu tidak memperhatikan maslahat dan hikmah, Kamu akan terjatuh ke dalam kesalahan besar.

ولهذا كان شيخ الإسلام يقول: من المسائل: مسائل جواب السكون .

يعني أنت في التحذير، لابد أن تقدر، وأحيانًا ترك التحذير هو إزالة لبدعته، بل

إن التحذير منه قد يؤدي إلى إحيائها وانتشارها .

Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata bahwa ini termasuk masalah yang jawabannya adalah diam.

Maksudnya: dalam memberi peringatan, kamu harus mempertimbangkan, terkadang, tidak memperingatkan malah bisa memadamkan bid‘ah itu, bahkan bisa jadi justru tahdzir malah membangkitkan dan menyebarkannya lebih luas.

حتى بعض الدخلاء أحيانًا يتعمّد مخالفة الشريعة لأجل اجتهاد، فأنت – جزاك

الله خيرًا – تُسهّل وتُسهم في جعله مشهورًا ومعروفًا في القنوات وبين الناس .

Bahkan ada sebagian orang luar yang dengan sengaja menentang syariat demi alasan ijtihad, Lalu kamu – semoga Allah membalasmu dengan kebaikan – justru mempermudah jalannya untuk menyebarkan penyimpangan

itu. Dan kamu pun turut berperan dalam membuatnya terkenal di media dan di hadapan masyarakat.

التحذير حكم شرعي، ولابد أن تلتفت إلى الحكمة، وإلى المصلحة .

Tahdzir adalah hukum syar‘i, Dan wajib memperhatikan hikmah, Serta maslahat yang terkait dengannya.

هل في حكمة؟ لماذا قلتَ: الحكمة؟ وضع الشيء في موضعه .

قد لا يكون التحذير هو المطلوب، قد يكون ماذا؟ الترك . يجب أن نعلم أن أغلب

البدع أو المخالفات التي يكون دافعها هوى النفس وحظ النفس، فعلاجها في

الترك .

Apakah ada hikmah? Kenapa saya katakan hikmah? Yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bisa jadi peringatan (tahdzir) bukanlah yang dibutuhkan, justru malah meninggalkan (tidak merespons).

Kita harus tahu bahwa kebanyakan bid‘ah atau pelanggaran yang motifnya berasal dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi, maka pengobatannya adalah dengan membiarkannya.

بخلاف البدع التي تنشأ من أصول وشبهات، فهذه تحتاج إلى ردود .

لكن المخالفات التي لها دوافع في النفس، ماذا؟ تركها علاج لها . تركها علاج

لها .

واضح؟ أحسنت. بعد، تفضل .

Berbeda halnya dengan bid‘ah yang berasal dari akar pemikiran atau syubhat; itu perlu dijawab. Tapi pelanggaran yang motifnya hanya dari nafsu, bagaimana?

Membiarkannya justru bisa menjadi solusi. Ya, membiarkannya adalah pengobatannya. Jelas? Bagus. Silakan lanjut.

جزاك الله خيرًا، عندي سؤال يا شيخ .

تفضل . في الآونة الأخيرة، بعض الشباب ...

نعم. حتى بدأ بعض العلماء في هذا بسبب هذا،

وأقول: اتصال بهذا الواقع لا يعني أنه يبدّع من يقول بالعذر بالجهل .

Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, saya punya pertanyaan, Syaikh.

Silakan. Belakangan ini, sebagian pemuda… Ya, bahkan sebagian ulama mulai membicarakan hal ini karena sebab itu, Dan saya katakan: menghadapi kenyataan ini tidak berarti kita membid‘ahkan orang yang berpendapat adanya udzur karena kebodohan.

ولا يعني العكس أنه من لا يعذر يبدع من لا يحذر .

نعم إخواني، هو حكم شرعي: بأن رفع المؤاخذة عن الجاهل . نحن في هذه

الدورة، فنقول: العذر بالجهل ننظر إليه كجانب أصلي . إن الله تعالى يقول: ﴿وما

كنا معذبين حتى نبعث رسولا﴾ .

Dan juga bukan sebaliknya, bahwa yang tidak berpendapat dengan uzur kebodohan lantas membid‘ahkan yang tidak memberi peringatan.

Ya, saudara-saudaraku, ini adalah hukum syar‘i: bahwa orang bodoh tidak dibebani dosa. Dalam kursus ini, kita memandang bahwa uzur karena kebodohan adalah dasar penting. Allah Ta‘ala berfirman: “Kami tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

والعلماء قالوا - ومنهم المصنف رحمه الله - بأن الجاهل، لا سيما في بلاد العلم

والإيمان والتوحيد، فإنه يُعذر .

فإذا كان الله تعالى يعاقب جاهلًا لا يتمكن من العلم، فهذا كلام لا يقوله عادل .

Para ulama – termasuk penulis kitab ini rahimahullah – mengatakan bahwa orang bodoh, terutama di negeri yang penuh dengan ilmu, iman, dan tauhid, maka ia diberi uzur.

Kalau sampai dikatakan bahwa Allah akan menghukum orang bodoh yang tidak punya akses ke ilmu, itu adalah ucapan yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang adil.

لأن العلماء اتفقوا على هذا الأصل في الجانب الكلي . فنحن نقول: كأصل، يُرفع

عن الجاهل الذي لم يتمكن من العلم . هذا أصل ثابت في القرآن والسنة ونقل

العلماء . أما الفرع: أن بعض العلماء نشأوا في التوحيد والسنة …

Karena para ulama telah sepakat tentang prinsip ini dalam bentuk umumnya.

Maka kami katakan: secara prinsip, orang yang bodoh dan tidak mampu belajar diberi udzur. Ini adalah prinsip yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan ucapan para ulama. Adapun cabangnya: ada ulama yang tumbuh dalam lingkungan tauhid dan sunnah…

حتى الراعي الذي يرعى الغنم يكسب التوحيد، وفي بلاد أخرى، خطيب على

المنبر يجهل التوحي د .

فطبيعي جدًا أن الذي يعيش في بلاد التوحيد لا يتصور وجود مشرك، وربما

الذي يعيش في بلاد أخرى لا يتصور وجود موحد .

Bahkan penggembala pun bisa menguasai tauhid, tapi di negara lain, seorang khatib di mimbar bisa tidak tahu tauhid.

Maka sangat wajar jika orang yang hidup di negeri tauhid tidak bisa membayangkan adanya musyrik, dan mungkin orang yang hidup di negeri lain tak bisa membayangkan adanya seorang yang bertauhid.

إذاً: الاختلاف الزماني والمكاني والأحوال يؤثر .

Jadi, perbedaan waktu, tempat, dan kondisi sangat memengaruhi.

فنحن نقول: العذر بالجهل للجاهل الذي لم يتمكن من العلم، لا يمكن لأحد أن

ينكره .

لأنه منصوص عليه، ولأنه يخالف عدل الله تعالى إن عاقب من لم تبلغه الدعوة .

Maka kami katakan: udzur karena kebodohan bagi orang yang tidak punya akses ke ilmu, tidak mungkin ada yang mengingkarinya.

Karena hal itu dinyatakan dalam nash, Dan bertentangan dengan keadilan Allah jika Dia menghukum orang yang tidak pernah menerima dakwah.

لكن يأتي كلام العلماء في بعض البلاد، مثلًا: الآن، بعض العلماء يقول: لا

نتصور وجود جاهل بالدين .

لماذا؟ قالوا: لأن وسائل تبليغ العلم منتشرة .

Namun ada pendapat sebagian ulama di beberapa negeri, misalnya: sekarang, ada ulama yang mengatakan bahwa tidak bisa dibayangkan masih ada orang yang bodoh soal agama. Kenapa? Karena sarana penyampaian ilmu agama sudah menyebar luas.

إذاً، هنا يقولون: لا نتصور الآن وجود جاهل .

والآخر يقول: الشريعة لا ترفع المؤاخذة عن الجاهل إلا بعد التمكّن من العلم .

فنحن نجد في بلاد الإسلام من عوامّ الناس من يجهلون جملةً كبيرةً من

الأحكام، بل حتى وسائل الاستقاء .

Jadi, ada yang berkata: sekarang sudah tidak mungkin ada orang yang bodoh.

Sementara pihak lain mengatakan: syariat tidak mencabut beban dosa dari orang bodoh kecuali jika dia memang belum bisa belajar.

Padahal kita dapati di negeri-negeri Islam, banyak dari kalangan masyarakat awam yang tidak mengetahui banyak hukum-hukum agama, bahkan mereka tidak mengetahui sarana-sarana untuk menggali ilmu tersebut.

لهذا من الجهل بمكان ترجيح من يقول بهذه الأقوال، سواء من يقول بالعذر

بالجهل أو من يقول بعدم العذر،

لأننا يجب أن نحقق: هل الخلاف في التنزيل أم في التأصيل؟ أنا أقول: الخلاف

في التنزيل .

Oleh karena itu, merupakan bentuk kebodohan bila mengunggulkan salah satu pendapat dalam masalah ini, baik yang berpendapat tentang adanya uzur karena kebodohan maupun yang menolaknya, karena kita perlu menelaah: apakah perbedaan ini pada tataran penerapan ataukah pada akar prinsipnya?

Saya katakan: perbedaan ini berada pada tataran penerapan (tanzīl).

لأنه لو قلنا لبعض المشايخ الذين لا يرون العذر بالجهل :

ما رأيكم في إنسان يعيش في أقصى الأرض، في القطبين، لا يعلم لغة، ولم

يصله أحد مطلقًا، جاهل تمامًا بالدين؟ ما حكمه؟ لا يمكن أن يقول أحد إنه غير

معذور، أبدًا .

Sebab jika kita bertanya kepada sebagian ulama yang tidak menerima adanya uzur karena kebodohan:

Apa pendapat Anda tentang seseorang yang hidup di ujung dunia, di kutub, tidak bisa berbahasa, dan tidak pernah dijangkau siapa pun—betul-betul bodoh terhadap agama?

Apa hukumnya? Tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa dia tidak mendapat uzur—sama sekali tidak.

وعندما يتعلق الأمر بالواقع، نجد أن التوحيد والعلم بالشريعة قد انتشر في بعض

البلاد، كما انتشر في بلاد أخرى، لكن في بلاد أخرى لا يزال غير ظاهر .

وهذا يعني أن قاعدة العذر بالجهل تتفاوت باختلاف الزمان والمكان والحال .

Dan ketika menyangkut kenyataan, kita mendapati bahwa tauhid dan ilmu syariat telah tersebar di sebagian negeri, dan juga di negeri-negeri lainnya, namun di negeri-negeri lain, ajaran itu masih belum tampak.

Ini menunjukkan bahwa kaidah tentang uzur karena kebodohan bersifat berbeda-beda tergantung waktu, tempat, dan keadaan.

وما أجمل ما قاله شيخ الإسلام: القضية قضية نسبية، ليست مطلقة .

ما معنى "نسبية"؟ أي: تختلف .

فالدعوة إلى الكتاب والسنة قبل خمسين سنة في بلادكم، هل هي كاليوم؟ بالتأكيد

لا .

Dan indah sekali perkataan Syaikhul Islam: masalah ini adalah masalah yang bersifat nisbi, bukan mutlak. Apa arti "nisbi"? Artinya: berbeda-beda.

Dakwah kepada Al-Qur’an dan Sunnah lima puluh tahun yang lalu di negeri kalian,

apakah sama dengan sekarang? Tentu tidak.

وهذا هو معنى أن ظهور الحجة وخفاءها يختلف باعتبارات متعددة .

نعم . هل هناك شيء آخر؟ بارك الله فيكم .

Dan inilah makna bahwa munculnya hujjah (bukti kebenaran) atau tersembunyinya, bergantung pada banyak pertimbangan. Ya. Apakah ada yang lain? Semoga Allah memberkahi kalian.

تفضل . نعم، هي نقطة مهمة، فإذا كان الهجر يُنظر فيه من باب المصلحة لا من

باب المشاعر،

فهل يمكننا القول بوجود تقسيم آخر، وهو بالنظر إلى الحالة لا إلى مجرد

الظاهر؟

Silakan. Ya, ini poin yang penting, jika pemboikotan (hajr) dilihat dari sisi kemaslahatan dan bukan dari sisi perasaan,

apakah mungkin kita menyebutkan adanya pembagian lain, yaitu berdasarkan kondisi, bukan semata-mata penampakan luar?

لا، ولكن يجب أن يكون الحكم شرعيًا، مع مراعاة أدب الآخرة . فإذا كان

شخص ما يخشى من اتصاله بشخص معين أن يؤدي إلى انحرافه أو سقوطه

في البدعة، وهو ضعيف، فهل يمكن اعتماد تقسيم آخر؟ نعم، هو تقسيم بالنظر

إلى الحال لا إلى المسجد أو الصورة الظاهرة .

Tidak, tetapi hukum harus tetap berdasarkan syariat, dengan tetap memperhatikan adab akhirat. Jika seseorang takut bahwa berinteraksi dengan seseorang bisa menyebabkan dirinya menyimpang atau jatuh ke dalam bid‘ah, dan ia lemah, maka bolehkah diterapkan pembagian lain? Ya, yaitu pembagian berdasarkan kondisi batin, bukan sekadar berdasarkan tempat atau penampakan luar.

السؤال المهم بالنسبة للحاجة :

قد يكون عاجزًا، أو مغررًا به، أو يحتمل التغيير، أليس كذلك؟

السائل يسأل: إذا كان عاجزًا فقط، فهل يهجر؟

Pertanyaan penting terkait kebutuhan:

Bisa jadi seseorang memang tidak mampu, atau sedang terpedaya, atau masih mungkin berubah, bukan? Seorang penanya bertanya: Kalau dia hanya sekadar tidak mampu, apakah harus tetap dihajar?

لكن أحيانًا الإشكال ليس في العجز، بل في خشيته أن تنتقل إليه البدعة، وهذا

كثيرًا ما يكون هدفًا لأهل البدع .

فهذا في الحقيقة لا يدخل في باب الهجر .

Namun kadang masalahnya bukan pada ketidakmampuan,

melainkan karena ia takut bid‘ah itu menular kepadanya,

dan ini sering menjadi sasaran para pelaku bid‘ah.

Maka sejatinya, ini tidak termasuk dalam kategori hajr (pemboikotan).

بل يدخل في باب الابتعاد والتحذير والحذر .

هنا الهاجر عليه أن يبتعد، ولكن لا يكون هذا الابتعاد هجراً، بل قد يكون مشوبًا

بشيء من الملاطفة أو تأليف القلوب لتقليل شره .

Namun masuk ke dalam kategori menjauh dan memberikan peringatan serta kehati-hatian.

Di sini, orang yang hendak menghajr sebaiknya menjauh,

tapi sikap menjauh ini tidak disebut hajr, melainkan bisa disertai dengan kelembutan atau upaya merangkul hati demi mengurangi dampak buruknya.

وقد يصل الأمر إلى أن يُنصح بتركه كليًا، لكن هذا الترك لا يُسمى هجراً، بل

يُسمى عادةً "هجرة" وليس "هجر اً ". لأن الهجر تركٌ مقصودٌ للفعل، فيه إبعاد

وتأديب .

Bisa saja sampai pada titik di mana seseorang disarankan untuk ditinggalkan sepenuhnya, tetapi tindakan meninggalkan itu tidak dinamakan hajr (boikot syar’i),

melainkan biasa disebut "hijrah" bukan "hajr".

Sebab hajr adalah tindakan meninggalkan dengan maksud tertentu, yaitu menjauhkan dan memberikan efek pendidikan.

بعد، إخواني، تفضل .

يا شيخنا، في بلادنا، هناك أشخاص، أم هناك ضوابط صحيحة في ذلك؟

الجواب: نعم، الحزبية نبحثها في الدرس القادم إن شاء الله، في كلام شيخ

الإسلام عليها .

واضح؟ سأبيّنها: ما هو حدّ الحزبية؟ وما هو حدّ التعاون الشرعي والأخوّة

الإيمانية؟ نعم .

Selanjutnya, saudara-saudaraku, silakan.

Wahai guru kami, Di negeri kita, apakah yang ada itu individu atau ada batasan yang benar dalam hal ini? Syaikh Menjawab, “Ya, masalah ḥizbiyyah (kepartaian sektarian) akan kita bahas dalam pelajaran berikutnya, insya Allah, dalam penjelasan Syaikhul Islam tentang hal itu. Jelas? Saya akan jelaskan: apa batasan ḥizbiyyah, dan apa batasan kerja sama syar‘i dan ukhuwah imaniyah, ya

أحسن الله إليكم يا شيخنا .

السلام عليكم، ذكرتم أيضًا أن فعلاً الأمر هكذا، تواضع من تسليحه ودخل

الحرارة،

Semoga Allah memberimu kebaikan, wahai guru kami.

Assalamu‘alaikum, Anda juga menyebutkan bahwa memang keadaannya seperti itu, rendah hati dalam persiapan dan masuk ke dalam suasana semangat.

ترك الحرام أنسب من فعل الواجب، ترك الحرام أيسر من فعل الواجب .

أنا سأجيبك بثلاث، يعني ثلاثية .

Meninggalkan hal yang haram lebih layak daripada mengerjakan kewajiban.

Meninggalkan hal yang haram itu lebih mudah daripada mengerjakan kewajiban.

Saya akan jawab dengan tiga poin, maksudnya tiga poin penting.

أولًا: ترك الحرام أي سبب من فعل الواجب، لهذا هنا قال: ﴿ما استطعتم﴾، وهنا

قال: ﴿فاجتنبوه﴾،

هذا الوطن .

Pertama: meninggalkan yang haram itu adalah hasil dari mengerjakan kewajiban.

Oleh karena itu, di satu tempat Allah berfirman: "Sesuai kemampuan kalian", dan di tempat lain: "Maka jauhilah itu." Ini adalah prinsip.

ثانيًا: فعل الواجب أفضل من ترك الحرام، ذاك أيسر، هذا فرق بين الأيسر .

Kedua: mengerjakan kewajiban lebih utama daripada meninggalkan yang haram. Yang satu lebih mudah, itu perbedaan antara mana yang lebih mudah.

ثالثًا: واحد الخلاف بإذن الله، أن الأمر بالواجب استلزم النهي عن ضده، وأن

النهي عن الشيء يستلزم الأمر بضده .

Ketiga: keduanya sebenarnya memiliki hubungan, inSya Allah. Bahwa perintah untuk melakukan kewajiban mengharuskan larangan terhadap kebalikannya. Dan larangan terhadap sesuatu mengharuskan perintah terhadap lawannya.

بينهما علاقة، يعني الأمر بالشيء يستلزم ماذا؟ النهي عن ضده، والنهي عن

الشيء يستلزم الأمر بضده .

إذا أمرك الله بالتوحيد، يلزم ماذا؟ وإذا نهاك عن الشرك، يلزم الأمر بالتوحيد .

Ada hubungan antara keduanya, maksudnya perintah terhadap sesuatu meniscayakan larangan terhadap kebalikannya. Dan larangan terhadap sesuatu meniscayakan perintah terhadap kebalikannya pula.

Jika Allah memerintahkanmu untuk bertauhid, maka apa yang dituntut? Dan jika Dia melarangmu dari syirik, maka konsekuensinya adalah perintah untuk bertauhid.

الأمر بالتوحيد، هذه قاعدة أصولية .

الممارسة العملية: فإن الشريعة تريد منك أن ترفع الحرام بفعل الحلال، تريد

منك أن ترفع الظلم بإقامة العدل،

وأن تزيل الشرك بنعمة التوحيد .

Perintah untuk bertauhid adalah kaidah ushuliyah (kaidah dasar).

Dalam praktiknya: syariat menghendaki agar engkau menghilangkan yang haram dengan melakukan yang halal,

menghilangkan kezaliman dengan menegakkan keadilan,

dan menghapus syirik dengan nikmat tauhid.

ويُخشى على الإنسان من الشهوات والمعاصي بالعفة والتقوى، واضح هذا

المعنى؟ لأن الدين جامع كامل، الدين جامع، هذا هو المعنى، يعني التفصيل

الذي ذكرناه هو قضية توضيحية، كما قلت تنفع في باب الدعوة إلى الله .

Manusia dikhawatirkan tergelincir dalam syahwat dan maksiat, dan cara menjauhinya adalah dengan iffah (menjaga kehormatan) dan takwa. Jelas maksud ini? Karena agama ini adalah menyeluruh dan sempurna.

Agama ini menyeluruh; maksud dari penjelasan tadi adalah bersifat ilustratif, seperti yang saya katakan, bermanfaat dalam bidang dakwah kepada Allah.

نحن نستفيد أن نخاطب المدعوين بترك، لكن لو جعلنا الأصل ماذا؟ فعل

الواجب، لك لو بفعل الواجب تركوا ماذا؟

Kita mengambil manfaat dengan menyeru orang-orang yang didakwahi untuk meninggalkan (kemungkaran), namun jika kita menjadikan dasar utama itu adalah melakukan kewajiban, maka dengan mengerjakan kewajiban mereka pun akan meninggalkan apa?

لهذا قال الله تعالى في أعظم واجب : ﴿إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر﴾

بمعناها الصحيح، هي تلقائيًا ماذا؟ لكن أن تجتنب الفحشاء والمنكر من غير

صلاة، أمر متعسر،

إلا أن يكون ذلك يجري مع طبعك .

Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam perintah yang paling agung:

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar."

Dengan makna yang benar, ia otomatis akan mencegah.

Namun, menjauhi perbuatan keji dan munkar tanpa shalat itu sangat sulit, kecuali jika itu sudah menjadi tabiat alaminya.

يعني بعض الناس من طبعه لا يشرب الخمر، لا يأتي الفواحش، لا يسرق،

يجري مع طبعه، لكن مع الشرع لا يقوى الإنسان على ترك الحرام، ما له إلا

بفعل، لهذا قال: لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن، قال شيخ الإسلام: يُرفع

منه الإيمان الواجب .

Ada sebagian orang yang secara tabiatnya memang tidak minum khamar, tidak berbuat zina, tidak mencuri.

Itu sesuai dengan tabiatnya, tapi kalau mengikuti syariat, seseorang tidak akan sanggup meninggalkan yang haram,

kecuali dengan amal perbuatan (positif).

Karena itulah disebutkan: “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan dia beriman.”

Syaikhul Islam rahimahullah berkata (menjelaskan makna tersebut): “Iman yang wajib itu diangkat darinya (pada saat itu)”.

في هذه اللحظة يُرفع من الإنسان الإيمان، ما هو الإيمان الواجب؟ هو الذي

يقتضي المراقبة: أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك . هذا الإيمان

الواجب المقترن بالمراقبة هو الذي يمنع من الوقوع في المعاصي .

Pada saat itu, iman diangkat dari orang itu. Apa yang dimaksud dengan iman yang wajib? Yaitu iman yang menuntut pengawasan diri: bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya.

Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Iman wajib yang disertai dengan pengawasan inilah yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan maksiat.

وإنما أقول هذا لبيان الارتباط بين الواجب وترك الحرام، لأنها عملية واحدة

في الخطاب وفي الفعل،

لكن في التفصيل قد يقع نوع من التفاؤل .

Saya menyampaikan ini untuk menjelaskan hubungan antara kewajiban dan meninggalkan yang haram.

Karena keduanya adalah satu kesatuan dalam ucapan maupun perbuatan.

Namun dalam perinciannya mungkin terjadi optimisme yang keliru.

Semoga bermanfaat.

Zaki Rakhmawan Abu Usaid