KEKASIH ALLAH


Ibnul Jauzi Rahimahullah menulis dalam salah satu kitab beliau :
ليس كل من عمل بطاعة الله صار حبيب الله، ولكن من اجتنب ما نهى الله عنه صار حبيب الله ولا يجتنب الآ ثام إلا صديق مقرب و أما أعمل البر فيعملها البر والفاجر
"Tidak setiap orang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah azza wa jalla itu akan menjadi kekasih-Nya. Namun, orang yang menjauhi larangan-larangan Allah, mereka itulah kekasih Allah. Karena tidaklah seorang mampu meninggalkan perkara dosa kecuali orang yang benar-benar jujur yang dia didekatkan kepada Allah. Adapun amalan kebajikan, orang baik maupun jahat bisa melakukannya." [Sahl bin Abdillah At Tustari rahimahullāh, dinukil di dalam Shifatush Shafwah karya Ibnul Jauzi rahimahullāh]
Betapa sedih membacanya, mengetahui, dan mengerti bahwa kekasih Allah itu adalah seorang hamba yang berupaya kalis dari kemaksiatan-kemaksiatan. Padahal kita semua begitu. Ah tapi kadang-kadang saja. Tidak setiap saat keinginan untuk menjauh dari kemaksiatan itu tumbuh dan lantas subur bertunas bermekaran dalam dada seorang hamba. Ini bukan soal orang lain. Ini berbicara tentang diri sendiri.
Kemaksiatan yang Allah hadirkan di hadapan sebagai ujian, lemahnya iman, mengedepankan hawa nafsu, tidak sabar dalam mencegah diri dari hal tercela, berkelindan menjadi kebiasaan, dan kita merasa "ngga apa-apa" melakukannya. Bukan syirik, luasnya ampunan Allah seakan menjadi legalisasi kebiasaan kita melakukan dosa-dosa.
Mengerjakan amal shalih sungguh mudah. Shalat malam misalnya. Tinggal pasang alarm, teguhkan niat, berpesan kepada keluarga supaya saling membangunkan ketika sepertiga akhir malam. Terbangun lantas shalat. Dan seterusnya dari amalan-amalan shalih lainnya.
Dan betapa banyak, hamba yang malamnya tak terpejam dengan qiyamul lailnya, siangnya mereka bergelimang dosa dan maksiat. Memakan riba, mencuri, berkhianat, berdusta, ghibah, berzina, marah kepada anak-anak dan istri, mengadu domba sesama saudara, dan juga kezaliman-kezaliman lainnya. Ya Rabbi, pantas meski malamnya bangun dengan wajah tersungkur di sajadah wanginya, air matanya tidak pernah keluar. Kering seperti mata air di musim kemarau panjang. Pantas amalan-amalan shalihnya kandas sebelum menyentuh atmosfir karena hangus oleh riya', ujub dan sum'ah. Tidak pernah sampai kepada Rabbnya.
Harus bilang apalagi? Karena memang keadaan kita seperti itu. Beramal shalih iya, bermaksiat juga iya. Ini bukan berbicara tentang si fulan atau si alan. Ini curahan hati. Kesedihan di atas kesedihan karena jasad yang berisi kotornya jiwa ini masih saja dianggap bersih oleh sesama dan mereka masih mau bersahabat dengan kita. Tentu saja. Apalagi kalau bukan karena kebaikan Allah menutupi kebusukan-kebusukan kita yang kita lakukan ketika bersendirian dan kita menampakkan kebaikan dan akhlak yang bagus ketika bersama manusia.
Allahummaghfirlanaa..
Jogja semilyar kenangan, 27 Juli 2017

Ditulis oleh : Abu Ubaidillah Salman Hafizhahullah

Diberdayakan oleh Blogger.