BELAJAR DARI SEMANGAT DAN AKHLAQ PARA ULAMA

BELAJAR DARI SEMANGAT DAN AKHLAQ PARA ULAMA

Dari semenjak pertama sampai di tempat Daurah, Syaikh Ali Hasan al-Halaby hafizhahullah Qaddarallah wa masya’a fa’ala diberikan rasa sakit kaki sebelah kanan yang bermuara dari bagian punggungnya akibat salah perawatan ketika di Yordania. 

Dan pada hari yang kedua pun Syaikh hafizhahullah terjatuh dari tangga yang ada di kamar hotel beliau. Sambil tertatih tatih beliau masih mengisi kajian yang diselenggarakan oleh Al-Iman TV di Daurah Syar’iyyah fi Masail as-Shohihah wal Manhajiyyah ke 20 di Kota Batu Malang. Beliau hafizhahullah masih tetap bersemangat dalam mengajarkan ilmu meski beliau sakit.

Syaikh Ziyad al-‘Abadi hafizhahullah yang menjadi pengajar ke dua di daurah tersebut ketika bertemu dengan tim perawat Syaikh Ali hafizhahullah mengatakan, “Antum, ahsannya merawat Syaikh Ali dulu, kalau ana inSya Allah meskipun ada rasa sakit dan capek tapi yang terpenting Syaikh Ali dirawat terlebih dahulu” Beliau hafizhahullah mendahulukan kepentingan Syaikh Ali hafizhahullah dibandingkan diri beliau sendiri. 

Syaikh Ziyad al-‘Abad hafizhahullah meyakini bahwa Syaikh Ali Hafizhahullah lebih berhak untuk diberikan prioritas, karena usia dan ilmu lebih senior daripada beliau. 

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

 الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

 Keberkahan itu bersama orang-orang tua kalian.
(Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Ash-Shahihah: 1778]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيرِنَا

“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang muda diantara kami, dan tidak mengetahui kemuliaan orang-orang yang tua diantara kami” (HR. At-Tirmidzi no. 1920 dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullah )
Dinukilkan di dalam  Al-Jaami al-Kabiir Sunan at-Tirmidzi dibawah hadits no. 1921

قَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: مَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا يَقُولُ: لَيْسَ مِنْ سُنَّتِنَا، لَيْسَ مِنْ أَدَبِنَا

 “Berkata sebagian ulama bahwa makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Bukan termasuk golonganku” adalah “Bukan termasuk sunnah kami, bukan termasuk adab kami” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنِي أَنْ أُكَبِّرَ

“Jibril shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyuruhku untuk mendahulukan orang-orang yang lebih tua” (HR. Ahmad  no.6226, dan dishahihkan Syaikh Al Albany rahimahullah. Lihat Silsilah Al Ahaadiits Ash Shahiihah, no.1555 dan Shohihul Jami no. 1382)

Saat malam setelah selesai daurah, keduanya Syaikh Ziyad al-‘Abad berdialog bersama Syaikh Ali Hasan al-Halaby hafizhahullah, dan Syaikh Ziyad hafizhahullah bertanya tentang apa saja yang beliau jawab dari pertanyaan para asatidz peserta daurah. Bentuk ketawadhu’an beliau hafizhahullah masih bertanya dan ta’qid kepada Syaikh Ali Hasan al-Halaby hafizhahullah. Meskipun Syaikh Ali Hasan al-Halaby hafizhahullah merasa kesakitan ketika dipijat oleh tim perawatnya, namun beliau tetap berusaha menjawab apa yang ditanyakan oleh Syaikh Ziyad hafizhahullah.

Hadits diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi rahimahullah dalam Sunannya no. 210, Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu’anhu bertawadhu’ tidak memberikan putusan langsung kecuali setelah bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu:

قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ، وَفِي أَيْدِيهِمْ حصًا، فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً، فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً، وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً، قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتظارَ أَمْرِكَ

Lalu dia (Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu’anhu) berkata kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Wahai Abu Abdurrahman, sesung-guhnya baru saja aku melihat di dalam masjid suatu perkara yang aku ingkari, dan Alhamdulillah, aku belum pernah melihat selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa itu?” Abu Musa menjawab, “Kalau saja kamu diberi umur panjang maka kamu akan melihat-nya,” lalu dia berkata lagi: “Aku telah melihat di dalam masjid suatu kaum yang membentuk lingkaran (halaqah) sambil duduk menanti-kan shalat. Di dalam setiap halaqah terdapat seorang lelaki, sedang di tangan-tangan mereka terdapat batu-batu kerikil, lalu lelaki tersebut berkata, ‘Bertakbirlah kalian seratus kali’, maka mereka pun bertakbir sebanyak seratus kali, lalu lelaki tersebut berkata lagi: ‘Ber-tahlillah kalian seratus kali’, maka meraka pun bertahlîl sebanyak seratus kali, lalu lelaki tersebut berkata lagi: ‘Bertasbihlah kalian seratus kali’, maka mereka pun bertasbîh sebanyak seratus kali.” Ibnu Mas’ud bertanya, “Lalu apa yang telah kamu lakukan terhadap mereka?” Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan sesuatu pun kepada mereka karena menunggu pendapatmu -atau menunggu perintahmu-.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H)  berkata, Tawadhu’ adalah 

إِظْهَارُ التَّنَزُّلِ عَنِ الْمَرْتَبَةِ لِمَنْ يُرَادُ تَعْظِيمه وَقيل هُوَ تَعْظِيمُ من فَوْقه فَضله

menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Lihat Fathul Bari, 11/341)

Petikan fawaid diatas adalah:

1. Hendaknya para penuntut ilmu dan ustadz yang lebih muda mampu bersikap menghormati dan menghargai asatidz yang lebih senior baik usia maupun ilmunya.
2. Ketawadhu’an itu melengkapi kebarokahan ilmu. Memuliakan orang yang lebih mempunyai ilmu adalah adab yang harus dilakukan oleh para penuntut ilmu.
3. Kerjasama dalam dakwah itu sangatlah dianjurkan karena dakwah tidak bisa berjalan dengan satu figure/orang saja tapi harus dilakukan dengan kebersamaan seperti keluarga besar yang saling cinta mencintai satu sama lainnya.
4. Bermusyawarahlah dalam hal dakwah dan ilmu syar’i kepada mereka yang lebih berpengalaman.
5. Sabar terhadap apa saja yang bisa jadi kurang berkenan dari perkataan para guru/asatidz senior harus dibawa kepada lapang dada dan husnu dzon bahwa itu adalah nasehat yang diberikan agar yang muda bisa lebih memperbaiki diri dan itu disampaikan karena cintanya mereka para senior kepada juniornya.
6. Bersemangat dalam berdakwah tanpa keluh kesah kepada manusia merupakan bentuk keikhlasan yang harus dipupuk dan dijaga dengan memohon Taufiq kepada Allah agar senantiasa dimudahkan dalam berdakwah dan menuntut ilmu syar’i.
7. Capek dan penatnya seseorang untuk mengajak orang lain agar mendapatkan ilmu serta hidayah inSya Allah akan diganti dengan pahala yang melimpah.

Semoga Allah menjadikan para asatidz kita rasa cinta dan kasih sayang satu dengan lainnya semata-mata dalam rangka menegakkan dakwah menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah dengan manhaj Salafus Sholih.

Batu-Malang, 25 Sy awwal 1440 H/28-06-2019

Semoga bermanfaat,

📝 Ustadz Zaki Rakhmawan Abu Kayyisa Hafidzahullah

Daurah Syar'iyyah fi Masail Al Aqdiyyah wal Manhajiyyah ke 20.
Diberdayakan oleh Blogger.